JAKARTA, kaldera.id- Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengusulkan Kementerian Agama untuk bisa menerbitkan fatwa terkait pernikahan lintas ekonomi.
Muhadjir mengusulkan agar orang kaya wajib menikahi orang miskin.
Hal ini, kata Muhadjir, dilakukan untuk mengatasi masalah kemiskinan baru serta tafsir agama soal pernikahan yang harus dilakukan antara dua orang yang setara atau kufu.
“Mbok disarankan sekarang dibikin Pak Menteri Agama ada fatwa; yang miskin wajib cari yang kaya, yang kaya cari yang miskin,” kata Muhadjir , dalam sambutannya di acara Rapat Kerja Kesehatan Nasional di JIExpo dikutip dari CNNIndonesia, seperti ditulis Kamis (20/2/2020).
“Jadi kalau ada ajaran agama mencari jodoh yang se-kufu ya otomatis yang miskin cari yang miskin. Karena sama-sama miskin lahirlah keluarga miskin baru, inilah problem di Indonesia,” sambungnya.
Diketahui, dalam fiqih Islam dikenal konsep kufu atau kafa’ah dalam pernikahan. Banyak pendapat berbeda soal aspek-aspek yang disarankan untuk setara bagi tiap pasangan. Misalnya, ada yang menyebutkan kufu dalam kekayaan dan martabat, dan lainnya.
Muhadjir melanjutkan bahwa masyarakat Indonesia yang berumah tangga Indonesia mencapai 57.116.000 jiwa. Yang miskin mencapai 9,4% atau sekitar 5 juta.
Jika ditambah status hampir miskin, maka angkanya mencapai 16,8% atau sekitar hampir 15 juta. Menurutnya, kemiskinan itu sumber penyakit, salah satunya stunting atau kerdil.
Selain itu, ada 2,5 juta perkawinan di Indonesia per tahun. Sebanyak 1,9 juta pernikahan di antaranya melalui Kemenag, sisanya melalui catatan sipil.
“Dan itu bisa dipastikan 10% adalah calon keluarga miskin, itulah yang menjadi perhatian kita,” ungkap Muhadjir.
Untuk itu, Muhadjir bersama sejumlah kementerian menggagas program pranikah. Ia tak ingin keluarga miskin terus bertambah.
“Kita selamatkan sebelum mereka menikah agar jangan menambah yang miskin. Keluarga miskin sudah sangat banyak jangan ditambahi miskin baru,” jelas Muhadjir.
Apa alasan Muhadjir mengusulkan fatwa itu?
Muhadjir mengatakan, usulan yang keluar dari mulutnya hanyalah sebuah saran. Usulan tersebut dinilai sebagai gerakan moral untuk memutus rantai kemiskinan.
“Itu kan intermezzo. Fatwa kan bahasa Arabnya anjuran. Anjuran, saran. Silakan saja. Saya minta ada semacam gerakan moral bagaimana agar memutus mata rantai kemiskinan itu, antara lain supaya si kaya tidak memilih-milih, mencari jodoh atau menantu yang sesama kaya.
Jadi gerakan moral saja,” kata Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2020).
Menurutnya, selama ini ada fenomena kecenderungan seseorang untuk menikah dengan yang memiliki kondisi ekonomi setara. Maksudnya si kaya menikah dengan si kaya, atau si miskin dengan si miskin. Fenomena itulah yang menurutnya lahir keluarga miskin baru.
“Salah satu yang saya amati walaupun belum penelitian mendalam, perilaku ini adalah dipengaruhi perilaku masyarakat di mana orang mencari kesetaraan. Yang kaya mencari sesama kaya, yang miskin juga cari sesama miskin. Karena sesama miskin, lahirlah keluarga baru yang miskin,” ujarnya.
Namun usulan tersebut masih sebatas intermezzo. Muhadjir menegaskan usulan dalam fatwa tidak bersifat wajib.
“Nggak. Mana ada anjuran mengikat? Jangan seolah dipelesetkan jadi wajib,” ujar Muhadjir.
Fatwa terkait Pernikahan Lintas Ekonomi
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan usulan tersebut sudah keluar dari tugas pemerintah. Menurutnya, pemerintah tak ada hak untuk mencampuri pasangan orang lain.
“Ini menurut saya sudah offside ya. Apa hak pemerintah mencampuri urusan personal begitu?,” kata Bhima kepada detikcom, Kamis (20/2/2020).
Usulan itu juga dinilai tak menjamin akan meningkatkan perekonomian orang miskin menjadi kaya. Yang ada usulan tersebut bisa meningkatkan jumlah perceraian karena tidak atas dasar keinginan sendiri.
“Tidak menjamin orang kaya dipaksa nikah dengan orang miskin kemudian si miskin terangkat pendapatannya. Dalam jangka panjang, konflik sosial akibat perbedaan kelas justru bisa membuat tingkat perceraian semakin tinggi,” sebutnya.
Bhima pun menyarankan agar pemerintah tidak membuat wacana yang tidak masuk akal. Pemerintah seharusnya memperbaiki aturan yang sudah ada, seperti masalah subsidi agar tepat sasaran kepada orang yang benar-benar tidak mampu.
“Daripada pemerintah wacana aneh-aneh coba diperbaiki dulu bansos (bantuan sosial), data BPJS kesehatan dan kebijakan subsidinya. Program yang sudah ada saja belum beres kok mau mencampuri urusan personal individu,” sebutnya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah. Untuk mengurangi jumlah kemiskinan seharusnya pemerintah memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia, bukan dengan usulan tersebut.
“Orang miskin umumnya tidak bisa sekolah sehingga mereka tetap bodoh dan tidak bisa keluar dari kemiskinan. Untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan yang mutlak adalah melalui pendidikan,” sebutnya.(dtc/finta rahyuni)