JAKARTA, kaldera.id – Nilai rupiah terus anjlok sejak awal tahun. Pada Januari lalu, nilai tukar rupiah masih di Rp13,888 per dolar AS. Tapi posisi tersebut turun ke level Rp14.956 pada penutupan pasar, Senin (16/3) dan menjadi Rp15.015 per dolar AS, Selasa (17/3/2020).
Pelemahan tajam rupiah belakangan ini tak terlepas dari ‘infeksi’ virus corona (covid-19) yang mulai masuk ke dalam negeri.
Virus telah memicu kekhawatiran pasar. Pasar tidak bisa memproyeksikan kapan teror virus terhadap perekonomian akan berlangsung, hingga membuat mereka mengalihkan aset mereka dari rupiah ke yang lebih aman. Sebenarnya, tak hanya rupiah saja yang melemah.
Mata uang negara lain juga ikut tertekan oleh penyebaran wabah virus corona. Namun, bila dibandingkan dengan mereka, pelemahan rupiah lebih tinggi.
Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan dolar Singapura yang memiliki rata-rata pelemahan 5,47 persen, ringgit Malaysia sebesar 5,24 persen, hingga baht Thailand yang masih menang tipis dengan pelemahan rata-rata 7,37 persen pada cakupan periode yang sama.
Kepala Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai pelemahan rupiah ini dapat berdampak pada dua sisi perekonomian dalam negeri. Sisi pertama, kenaikan beban utang korporat dan pemerintah di Indonesia.
Dia khawatir, utang yang berbentuk dolar AS akan semakin bertambah seiring tren pelemahan rupiah belakangan ini.
“Dampak negatifnya dari beban utang. Utang korporat, terutama yang berbentuk dolar (AS), begitu juga utang pemerintah yang tentunya akan mengalami permasalahan juga kalau ini terus terjadi (rupiah melemah),” katanya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (16/3).
Tak hanya soal utang, Yose juga menilai terdapat tekanan dua arah terhadap korporat dari sisi permintaan dan lesunya tingkat produksi barang akibat corona. Diketahui, dampak covid-19 telah membuat pabrik-pabrik China terpaksa ditutup.
Sejak Awal Tahun Rupiah Melemah
Kondisi tersebut menurunkan impor barang dari China kepada Indonesia, terutama yang berbentuk bahan baku non migas, seperti plastik ke Indonesia. BPS mencatat terdapat penurunan impor plastik dan barang dari plastik dari China mencapai 65,16 persen pada Februari 2020.
Tak hanya plastik, impor mesin dan perlengkapan elektrik juga turut menurun sebanyak 45,17 persen diikuti oleh mesin dan peralatan mekanik sebesar 34,33 persen.
Secara total, BPS mencatat realisasi impor nonmigas dari China ke Indonesia hanya mencapai US$1,98 miliar pada Februari 2020. Realisasi itu anjlok 49,63 persen dari bulan sebelumnya dan 35,27 persen secara tahunan.
Akibat penurunan ini, Indonesia memang berhasil memperkecil defisit neraca dagang dari China. Tercatat, defisit dagang Indonesia-China hanya sebesar US$1,94 miliar pada Januari-Februari 2020.
Walau defisit neraca dagang non migas dari China telah menurun, Yose merasa hal tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap pergerakan rupiah.
Yose menyebut penyebab utama pelemahan rupiah kali ini diakibatkan oleh menurunnya tingkat kepercayaan dari masyarakat kepada segala sisi aspek perekonomian, termasuk pemerintah Indonesia.
“Pelemahan rupiah kali ini sebenarnya bukan cerminan dari current account, ataupun bukan cerminan dari trade balance. Yang lebih menjadi penyebab menurunnya rupiah ini karena tingkat kepercayaan masyarakat dan pelaku pasar yang turun, tidak hanya kepada pemerintah Indonesia tapi juga perekonomian Indonesia,” tegasnya
Untuk dapat menstabilkan nilai rupiah kembali, Yose merasa pemerintah perlu menegosiasikan utang-utang negara, terutama yang berbentuk dolar dan yang berpotensi besar akan jatuh tempo.
Pasalnya, apabila pemerintah tidak menegosiasikan sedini mungkin, kemungkinan beban utang yang semakin bertambah dan bakal merugikan negara.
Nilai Tukar Rupiah Anjlok
“Selain itu, pemerintah juga harus membuktikan kebijakan yang mendorong kepercayaan dari pelaku usaha. Jangan sampai mereka melihat langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah ini misalnya dianggap tidak optimal atau penanganan virus tidak optimal,” tuturnya.
Segendang sepenarian, ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal menilai penurunan rupiah bakal meningkatkan utang dari negara dan perusahaan-perusahaan dalam negeri. Ia melihat, tren pelemahan diakibatkan oleh kurangnya optimalisasi penanganan corona dalam negeri.
“Jadi saya melihat ada faktor kekhawatiran oleh pelaku pasar, mereka melihat juga kasus-kasus di Indonesia sepertinya belum ditangani baik sehingga market agak ragu,” ujarnya.
Fithra juga merasa nilai rupiah yang kini terancam naik perlu diperhatikan pemerintah secepatnya. Apabila dibiarkan, Fithra khawatir rupiah dapat memasuki level Rp17 ribu. Bila itu terjadi, ekonomi dalam negeri bisa terancam.
“Level Rp15 ribu ini sudah masuk dampak psikologis, sedikit berbahaya. Selain itu, kalau dilihat dari tes-tes yang dilakukan oleh OJK, bahwa rupiah punya batas stress-nya itu sampai Rp17 ribu.
Ini kan ada windows yang cukup sempit, antara Rp15 sampai Rp17 rb tika terlalu jauh, sementara kalau sudah Rp17 ribu ini kan relatif lebih berisiko untuk perekonomian,” katanya. Fithra melihat masih ada kesempatan bagi rupiah kembali menguat dalam jangka menengah panjang.
Fithra menyebut pemerintah perlu segera mencari cara untuk memperbaiki kelemahan fundamental dari sisi impor dan ekspor lantaran penurunan impor dari China mayoritas masih merupakan bahan baku untuk produksi.
Selain itu, pemerintah juga harus memastikan rencana pemberian insentif fiskal dan non fiskal dapat berjalan dengan baik sehingga kepercayaan pelaku usaha dapat meningkat. “Tapi saya rasa secara fundamental Indonesia masih punya peluang untuk rebound ke level Rp14 ribu.
Masyarakat juga belum melihat ada dampak dari paket kebijakan pemerintah, karena ini kan baru saja diumumkan terkait relaksasi kebijakan impor, dan juga kemudian pengurangan PPh, dan seterusnya.Ini yang perlu diawasi dengan baik,” pungkasnya.(ara/agt/cnn/finta rahyuni)