Sang Pemersatu Bangsa: Keteguhan Prinsip, Persahabatan, dan Gagasan Prabowo

Buku Prabowo Subianto, Sang Pemersatu Bangsa.
Buku Prabowo Subianto, Sang Pemersatu Bangsa.

Oleh: Fakhrur Rozi

BUKU berjudul “Prabowo Subianto, Sang Pemersatu Bangsa” merupakan satu dari banyak buku yang ditulis tentang sosok Menteri Pertahanan RI ini. Tapi, buku karya Sugiat Santoso yang terbit April 2023 ini, agaknya sesuai dengan premis bahwa setiap pemimpin memiliki karakter khas masing-masing.

Penulis buku menegaskan, setiap era niscaya akan selalu muncul tokoh-tokoh yang menonjol kepemimpinannya dan tak jarang berperan dalam menggerakkan arus sejarah. Tentu saja, setelah membaca buku ini, pembaca akan menyelami karakter kepemimpinan Prabowo Subianto.

Secara umum buku ini menjelaskan tentang kepemimpinan, visi, gagasan, program serta prestasi yang dimiliki Prabowo kala masih menjadi prajurit TNI, purnawirawan dan Menteri Pertahanan. Tapi buku ini tidak terlalu detail dan berpanjang lebar mengulas soal sepak terjang Prabowo saat berkarir di militer. Pilihan ini bisa dimaklumi, karena penulis buku ini dikenal sebagai aktivis gerakan dan aktif di masyarakat sipil.

Buku ini diawali dengan genealogi kepemimpinan Prabowo Subianto. Penulis menyebut putra dari pasangan Soemitro Djojohadikusumo dan Dora Sigar ini lahir dengan DNA kesatria karena punya kakek buyut (leluhur) pejuang. Dengan DNA itu pula, Prabowo yang dikenal keras dalam prinsip dapat mengalah untuk kebaikan.

Pada bagian “Persahabatan dengan Soe Hok Gie”, terdapat beberapa fakta yang jarang didengar terkait Prabowo. Dia ternyata menginisiasi pendirian lembaga swadaya masyarakat bernama “Lembaga Pembangunan” di usia 16 tahun. Di sinilah ia bertemu dengan Soe Hok Gie, seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang dikenal luas sebagai penulis dan aktivis. Meski Gie lebih tua 9 tahun, kedua anak muda ini saling menghormati satu sama lain. Dari sini, pengenalan Prabowo terhadap isu masyarakat sipil, aktivisme dan ekonomi masyarakat terasah.

Persahabatan Prabowo dan Gie pun berlangsung dalam keseharian. Bahkan pada Desember 1969, Prabowo sempat meminjamkan sepatu pada Gie yang akan mendaki puncak Gunung Mahameru di Jawa Timur. Gie diketahui meninggal dunia dalam pendakian itu. Saat itu, Gie menggunakan sepatu milik Prabowo.

Hancurnya hati seorang yang kehilangan sahabatnya tak dapat terelakkan. Prabowo kerap termenung setelah peristiwa itu. Ia pun diminta ayahnya untuk kuliah di Amerika Serikat pada 1970. Dua universitas terkemuka menerimanya yakni University of Colorado dan George Washington University. Tapi dia kemudian memilih Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang.

Terjun ke Politik, Dikhianati Kawan

Bab dua membahas tentang perjalanan politik Prabowo Subianto. Di sini, penulis menceritakan jatuh bangun Prabowo menjadi pengusaha yang mampu menyentuh karyawannya untuk sama-sama maju. Dia lalu masuk ke dunia politik dengan menjadi 5 besar peserta konvensi Calon Presiden dari Partai Golkar untuk Pemilu 2004. Dari partai ini, selanjutnya ia pun mendirikan Partai Gerindra untuk menjadi peserta Pemilu 2009. Partai Gerindra dimaksudkan sebagai partai baru yang benar-benar punya manifesto perjuangan demi kesejahteraan rakyat.

Bab ini juga menceritakan dialektika Prabowo di Pemilu 2009 dan 2014. Pada periode ini ia peristiwa penting yakni menjadi Calon Wakil Presiden (2009) sebagai pendamping Megawati Soekarno Putri dan Calon Presiden (2014) berpasangan dengan Hatta Rajasa. Ada perasaan dikhianati kawan dalam diri Prabowo khususnya pada Pemilihan Presiden 2014. Tapi kombinasi keteguhan prinsip dan hatinya yang lunak dalam menjaga dan merawat pertemanan menjadikannya Negarawan.

Dalam bab tiga dan bab empat, penulis mengisahkan pergumulan politik Prabowo Subianto pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Mulai dari prestasi Partai Gerindra yang melambung pasca Pemilu 2014, menjadi calon presiden di 2014 dan 2019, tarik-ulur hingga di tinggal Koalisi Merah Putih, serta detail cerita Prabowo bergabung dengan Presiden Joko Widodo dengan menjadi Menteri Pertahanan RI pada 23 Oktober 2019. Di sini, penulis menukil kisah Perang Onin di Jepang (1467-1477) untuk memaklumkan situasi satu gerbongnya Prabowo dengan Jokowi usai Pilpres 2019.

Bab empat secara khusus menerangkan sepak terjang Prabowo saat menjadi Menteri Pertahanan RI dengan tetap memegang teguh prinsip untuk mewariskan persatuan, membuang residu perpecahan, persatuan menghadapi tantangan global.

Akhirnya, pada Bab lima, pembaca akan mendapatkan review dan preview dari Prabowo Subianto di era kekinian. Dalam bagian “Revolusi Putih” pembaca akan melihat komitmen Prabowo soal menekan gizi buruk sebagai upaya memastikan generasi Indonesia yang tangguh. Kemudian gagasan dan aksi Prabowo soal ketahanan pangan salah satunya dengan konsep food estate. Gagasan kesinambungan lingkungan hidup hingga adopsi ekonomi kerakyatan untuk pemerataan dan kesejahteraan rakyat.

Pada bagian akhir ini penulis juga ingin menegaskan bahwa Prabowo Subianto sebagai pribadi yang berbudaya sehingga akan terus menerus berkomitmen berjuang tanpa syarat untuk mengembalikan Indonesia sebagai Macan Asia. Sebagai sebuah biografi, buku ini cukup baik dibaca generasi masa kini sebagai referensi tentang leadership. Perjalanan hidup seorang tokoh setidaknya menjadi motivasi dan pembelajaran di masa yang akan datang.

Konsep pemersatu bangsa ala Prabowo Subianto versi Sugiat Santoso ini rasanya cukup relevan dengan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang diperingati pada 20 Mei setiap tahunnya, sebagai momentum nasional awal mula rasa dan semangat persatuan, kesatuan, nasionalisme dan kesadaran bangsa Indonesia untuk bangkit.(*)

Judul Buku    : Prabowo Subianto, Sang Pemersatu Bangsa
Penulis          : Sugiat Santoso
Penerbit        : Kakilangit Kencana, Prenada Grup
Tahun Terbit : 2023
Jml Halaman : 212

*) penulis resensi adalah akademisi dan praktisi media di Medan