MEDAN, kaldera.id – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyambut baik keputusan Pemerintah Provinsi Aceh yang akan mengizinkan bank konvensional kembali beroperasi di wilayah tersebut.
Ketua Apindo bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana mengatakan layanan perbankan itu plural. Artinya, tidak hanya tertuju pada sebatas golongan tertentu.
Oleh karena itu, semestinya negara atau pemerintah daerah memberikan layanan publik yang beragam untuk masyarakat yang heterogen.
“Pemprov Aceh sebagai bagian dari Indonesia musti membawa masyarakat dan dunia usaha di Aceh ke masa depan yang lebih go international, bukan hanya domestic oriented,” kata Danang kepada CNNIndonesia.com, Senin (22/5).
Dengan begitu, lanjut Danang, masyarakat menjadi maju dan modern dengan adat istiadat Islami, bukan membungkus diri dalam kotak kecil.
Ia juga menyebut hal ini memerlukan pola kebijakan investasi termasuk perbankan yang tak boleh eksklusif, agar tidak terasing dari dunia luar.
Menguatnya aspek fanatisme
Lebih lanjut, Danang mengungkapkan Aceh dulu menetapkan pada pilihan layanan perbankan syariah mungkin karena menguatnya aspek fanatisme, sehingga menganggap perbankan konvensional itu dituding mengandung riba.
Pada kenyataannya, kata dia, sistem keuangan yang berlaku di seluruh penjuru dunia bisa saja berjalan paralel dengan sistem syariah.
“Dengan kemajuan globalisasi, dunia usaha di masa ini tidak akan bertumbuh kalau regulator menggunakan cara-cara eksklusif yang berlaku lokal secara sempit,” ucap Danang.
Pemerintah Provinsi Aceh akan merevisi qanun nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Salah satu poin dalam revisi tersebut adalah mengizinkan bank konvensional beroperasi di Aceh.
Rencana revisi qanun LKS
Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA membenarkan rencana revisi tersebut.
“Benar. Pemerintah Aceh sepakat atas rencana revisi qanun LKS yang sedang bergulir di DPRA,” kata Muhammad MTA saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com.
Revisi itu datang dari desakan dan aspirasi masyarakat terutama pelaku usaha yang menyampaikan bahwa pelaksanaan qanun LKS tersebut belum optimal.
Apalagi kasus yang menimpa PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) yang bermasalah hampir sepekan, membuat roda perekonomian di Aceh saat itu nyaris lumpuh.
Menurutnya, sejauh ini infrastruktur perbankan syariah belum bisa menjawab dinamika dan problematika sosial ekonomi, terutama berkenaan dengan realitas transaksi keuangan berskala nasional dan internasional bagi pelaku usaha di Aceh.
Dalam revisi itu nantinya juga akan dikaji soal kompensasi dari setiap potensi yang merugikan nasabah yang mungkin abai dalam qanun tersebut.
“Termasuk membuka kembali peluang bagi perbankan konvensional untuk kembali beroperasi di Aceh,” ucapnya.
Operasional bank konvensional di Aceh sebelumnya juga sudah pernah dibahas oleh pemda setempat pada 2020 agar bank tersebut bisa beroperasi hingga 2026. Namun saat itu terjadi pro dan kontra hingga akhirnya 2021 seluruh bank konvensional angkat kaki dari Aceh.
Muhammad MTA pun berharap masyarakat dan pelaku usaha ikut untuk mengawasi kegiatan revisi qanun tersebut.
“Mari kita beri waktu kepada DPRA sebagai representatif masyarakat Aceh untuk mengkaji dan menganalisa sebagai sebuah kebijakan evaluasi terhadap qanun LKS ini demi penyempurnaan qanun ini,” katanya. (cnn)