MEDAN, kaldera.id – Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk 34 provinsi di Indonesia sudah diputuskan. Termasuk Sumatera Utara. Di Sumut UMP 2024 naik 3,67 persen atau Rp99.822 menjadi Rp2.809.915. Sementara UMP tahun lalu Rp2.710.493.
Menanggapi penetapan keputusan upah minimum tersebut Ketua Kadin Sumut Firsal Ferial Mutyara mengatakan pihaknya akan mengikuti regulasi sebagaimana yang diputuskan pemerintah.
“Organisasi ini merupakan induk bernaungnya para pengusaha. Tentu kita mengikuti regulasi dan aturan yang ditetapkan,” jelasnya.
Dia mengungkapkan hal itu saat berbicara kepada media, kemarin. Menurutnya, penetapan UMP pasti sudah melibatkan unsur pekerja, pengusaha serta pemerintah.
“Seyogyanya memang dunia usaha dan industri harus ikut diperhatikan karena kebutuhan dan biaya produksi yang terus meningkat.”
Di sisi lain pun, kata Firsal yang akrab disapa Dida, biaya hidup dan harga kebutuhan pokok para buruh juga naik terutama untuk pangan serta hal lainnya. “Kita semua dengar harga beras, gula dan kebutuhan-kebutuhan lain naik sampai 15 persen.”
Belum termasuk biaya hidup lain karena buruh punya anak, istri serta harus menanggung ongkos transport, sekolah serta pengobatan agar mereka hidup layak, kata Firsal.
“Satu sisi memang kita harus memperhatikan buruh. Kita prihatin kalau sampai mereka kesulitan dengan biaya hidup yang semakin tinggi. Sebab buruh adalah mitra strategis dan hubungannya simbiosis mutualisme dengan industri,” jelasnya.
“Begitupun fakta lain harus kita akui juga roda perusahaan dan industri baru mau stabil pasca pandemi covid-19. Status pandemi baru dicabut 2023 atau baru terhitung hampir satu tahun inilah aktivitas kita kembali normal. Syukur kalau misalnya demand mengalami peningkatan, artinya produksi pun naik,” jelasnya.
Jika demand meningkat maka kebutuhan tenaga kerja sektor industri juga naik, tambahnya.
“Sehingga kenaikan upah buruh tentu harus dengan mempertimbangkan semua hal dan kalau sudah diputuskan kita menerima. Kita anggap itulah keputusan terbaik. Kenaikan yang terjadi harus sewajarnya sesuai kebutuhan buruh dan perusahaan,” kata dia.
Menurut Firsal Dida Mutyara, semua harus disinkronkan karena jangan sampai dibebankan ke pengusaha dan jangan pula hak buruh diabaikan.
“Kalau misalnya ada unsur keterpaksaan atau tanpa perhitungan yang cermat dalam menetapkan upah dikhawatirkan pengusaha kabur. Harusnya mereka mau investasi di sini malah pindah ke daerah lain yang lebih murah, atau pindah ke kabupaten lain. Itu merugikan kita di Sumut,” jelasnya.
Apalagi sekarang Sumut sudah menjadi arah untuk relokasi industri dari negara tetangga sehingga iklim ini harus dipertahankan, jelasnya.
“Saya sampaikan sudah ada beberapa industri yang relokasi ke Sumut. Ini karena supporting buruh dan fasilitas di daerah kita cukup baik. Sehingga mereka tidak terbebani. Jika ada investasi masuk itu merupakan keuntungan untuk kita. Jangan sampai polemik tentang UMP menjadi catatan minus buat investor,” tegasnya.
“Prinsipnya pengusaha jangan dibenturkan dengan buruh soal upah. Harus ada jalan tengah, harus ada mediasi. Karena seperti yang saya sampaikan kita pun faham kondisi beban hidup yang dihadapi buruh hari ini,” ucapnya.
Saat ditanya apakah sektor industri sepenuhnya sudah pulih seperti masa sebelum pandemi? Ketua Kadin Sumut ini menjawab saat covid terjadi imbas terbesar itu menghantam sektor jasa.
“Nah pasca pandemi, untuk sektor industri manufaktur sudah mulai bergerak dengan laju percepatan 70-80 persen. Sementara sektor jasa itu baru sekira 50 persen saja. Maka kalau untuk sektor jasa ini kita suruh naikkan upah pun masih berat mereka.”
“Begitupula untuk demand dari luar negeri sebenarnya masih kurang. Karena China, Eropa dan AS krisis, jadi marketnya sangat kecil. Artinya kebutuhan produk Indonesia di luar negeri berkurang. Yang berpengaruh terhadap industri manufaktur tadi,” kata Firsal Dida Mutyara.
Dia sempat bercerita ketika ditanya wartawan bahwa data yang ada menunjukkan ekspor Sumut sebenarnya turun.
“Iya saya jawab begini. Katakanlah ekspor turun karena pasar di luar negeri mengecil tapi kapasitas produksi mesin industri dan pabrik meningkat. Tandanya apa? Berarti demand dalam negeri kita tumbuh. Pasar domestik daya belinya naik,” kata Firsal.
Memang, menurut dia, pasar ekspor akan lebih menguntungkan tapi kalau tidak pasar domestik juga harus didorong tumbuh. “Dengan begitu permintaan di pasar domestik bisa menopang penurunan ekspor,” jelasnya.