Satwa raksasa yang dulu menjadi penguasa hutan tropis Sumatera kini berada dalam ancaman besar. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) berstatus “Critically Endangered” atau sangat terancam punah menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN, 2020).
Oleh: Rosa Mardliyah Padena
MEDAN, Kaldera.id – Satwa raksasa yang dulu menjadi penguasa hutan tropis Sumatera kini berada dalam ancaman besar. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) berstatus “Critically Endangered” atau sangat terancam punah menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN, 2020). Ini berarti spesies ikonik Indonesia tersebut bisa benar-benar menghilang jika tidak ada upaya penyelamatan yang cepat dan berkelanjutan.
Populasi di alam terus menukik tajam. Earth.org mencatat hanya 2.400–2.800 gajah yang tersisa di Sumatera. Bahkan analisis ilmiah terbaru memperkirakan jumlah sebenarnya mungkin lebih rendah lagi, hanya sekitar 924–1.359 individu (Khairani et al., 2022).
Angka ini menunjukkan betapa rapuhnya masa depan sang raksasa hutan.
Dua ancaman terbesar adalah hilangnya habitat dan konflik manusia–gajah. Konversi hutan dataran rendah menjadi perkebunan sawit, industri pulp-kertas, dan permukiman telah menghilangkan sekitar 70 persen habitat alami gajah hanya dalam satu generasi (WWF-Indonesia, 2023).
Fragmentasi ini memaksa populasi terjebak di blok hutan kecil tanpa konektivitas, memutus rute migrasi dan menurunkan keragaman genetik mereka.
Ketika sumber pakan menipis, gajah terdorong memasuki kebun masyarakat. Konflik pun tak terhindarkan. Kerusakan tanaman sering dibalas dengan jerat, racun, hingga penembakan. Perburuan untuk gading masih terjadi meski status perlindungan penuh sudah diterapkan.
Gajah merupakan spesies kunci (keystone species) yang berperan sebagai ecosystem engeneer besar menjaga kesehatan hutan tropis. Mereka menyebarkan biji tanaman jarak jauh, membuka jalur jelajah satwa lain, hingga mencegah dominasi vegetasi tertentu. Jika gajah punah, struktur dan fungsi hutan akan berubah drastis dan akhirnya mengancam kehidupan manusia juga.
Upaya konservasi kini terus ditingkatkan. Pemerintah Indonesia bersama lembaga konservasi fokus membangun koridor satwa dan melakukan restorasi hutan yang rusak, agar populasi gajah tetap terhubung dan bisa bermigrasi tanpa hambatan. Penguatan penegakan hukum terhadap perburuan juga menjadi bagian penting dalam menyelamatkan spesies ini.
Selain itu, program mitigasi konflik berbasis masyarakat seperti patroli desa, pemasangan pagar lebah, hingga penanaman tanaman penolak gajah mulai efektif menurunkan risiko benturan. Pemanfaatan teknologi GPS collar membantu memantau pergerakan gajah secara real time, sehingga intervensi bisa dirancang lebih tepat.
Pelestarian gajah Sumatera tidak cukup hanya mengandalkan pemerintah dan lembaga konservasi. Kesadaran dan dukungan masyarakat menjadi kunci. Edukasi mengenai pentingnya gajah bagi keseimbangan ekologis serta peluang manfaat ekonomi melalui ekowisata perlu terus diperkuat. Ketika masyarakat merasa memiliki dan diuntungkan dari keberadaan gajah, perlindungan spesies ini akan berjalan lebih kokoh.
Gajah Sumatera telah menjaga hutan selama ribuan tahun. Kini, giliran manusia menjaga mereka agar tidak menjadi legenda yang tinggal nama.
(*)Penulis adalah Mahasiswa Magister Biologi Universitas Sumatera Utara