MEDAN, kaldera.id – Kondisi ekonomi yang makin sulit dirasakan masyarakat, terutama ibu rumah tangga. Mereka resah karena beban hidup makin berat dan harga kebutuhan pokok makin tinggi, sementara penghasilan keluarga tidak bertambah.
Tria Agustina, ibu rumah tangga yang dijumpai Kaldera.id di Medan merasakan beratnya tekanan ekonomi pada kehidupan sehari-hari. Harga berbagai kebutuhan semakin tinggi, terutama kebutuhan pokok.
“Kadang harga di pasaran sulit terjangkau. Penghasilan rumah tangga tidak berubah. Harga-harga malah makin mahal. Belum lagi anak harus sekolah. Jadi semaksimal mungkin saya harus mencukupkan uang yang ada untuk kebutuhan sehari-hari. Atau harus mencari pekerjaan sampingan untuk menambah sedikit penghasilan,” katanya, Selasa (17/12/2019).
Dia berharap pemerintah lebih peduli terhadap kondisi masyarakat. Keinginan masyarakat itu simpel, hanya ingin harga semua kebutuhan terjangkau, andaipun tidak ada kenaikan gaji, kata dia.
“Semoga ke depan, pemerintah bisa memperhatikan keluhan ibu rumah tangga seperti saya yang harus pusing setiap hari membagi-bagi uang belanja dan menghemat agar tahan sampai akhir bulan,” jelasnya.
Berbeda dengan Irwansyah Putra, seorang ASN. Dia merasa ekonomi saat ini sudah lebih bagus dan berkembang. Menurutnya, sebagai seorang aparatur negara pendapatan yang didapatnya sudah sesuai dengan harga-harga kebutuhan.
“Ekonomi kita sudah bagus dan berkembang, untuk harga-harga kebutuhan saat ini masih sesuai dengan penghasilan saya,” katanya. Menurut dia, laju ekonomi makro yang melambat tak begitu berdampak sampai ke level bawah. “Kalau dampaknya saya rasa tidak ada. Selama ini masih aman-aman saja,” tuturnya.
Sementara itu Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof. Indra Maipita turut berkomentar terkait lambatnya perekonomian di Indonesia saat ini.
“Kondisi perekonomian Indonesia saat ini melambat. Pertumbuhan PDB Indonesia terus melambat sejak Q1 2019 (sebenarnya sejak Q2 2018) hingga Q3 2019. Secara umum, komponen pembentuk PDB adalah konsumsi rumahtangga, pembentukan modal tetap, dan ekspor. Ketiga faktor tersebut sedang dalam kondisi menurun, akibatnya berdampak terhadap menurunnya pertumbuhan PDB,” katanya.
“Tahun 2019 merupakan tahun politik, oleh karena itu para pelaku usaha cenderung bersifat wait and see. Walaupun presiden dan jajaran menteri sudah dilantik namun karna sdah dipenghujung tahun tidak banyak daya dorongnya terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari sisi ekspor, perang dagang Amerika-China berdampak negatif terhadap perdagangan dunia termasuk ekspor Indonesia,” tambahnya. Menurutnya, dengan segala sumberdaya alam yang dimiliki sudah cukup menghantarkan Indonesia ke perekonomian yang lebih baik
” Belajar dari Vietnam dan Kamboja, harusnya kita mampu mendorong pengembangan pariwisata domestik mereka menjadi destinasi internasional. Kedua negara yang saya sebut itu masih mengandalkan Sungai Mekong sebagai destinasi dan wisata museum peperangan saja,” kata dia.
Hanya promosi dan kemasan serta keberpihakan pemerintah di negara itu yang serius menjadikan pariwisata mereka bangkit dan sekarang hampir mengalahkan Thailand, kata Indra Maipita.
Artinya, tambah Prof. Indra, kedua negara ini mampu menjadikan pariwisata sebagai salah satu pendorong ekonomi nasional. Semestinya Indonesia jauh lebih mampu, karena SDA Indonesia dan atraksi budaya jauh lebih banyak dan variatif. Ini adalah keunggulan kompetitif Indonesia dibandingkan negara Negara Asean lainnya untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. (Finta Rahyuni)