JAKARTA, kaldera.id- Pengusaha mengaku keberatan dengan rencana pemerintah yang akan mengenakan cukai untuk minuman berpemanis. Mereka mengklaim pengenaan cukai akan menambah beban dan berpotensi menurunkan penjualan perusahaan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menuturkan tarif cukai yang rencananya di atas Rp1.000 per liter benar-benar memberatkan pengusaha. Mau tak mau, kata dia, pengusaha akan memberikan harga jual yang lebih tinggi ke konsumen untuk menutup tambahan beban dari cukai tersebut.
“Ini pasti akan dibebankan ke konsumen. Harga jual ke konsumen kan semakin tinggi. Makanya ini harus cari solusi yang tepat,” kata Adhi kepada Rabu (19/2/2020) seperti dikutip CNN.
Dia mengaku belum mengetahui pasti potensi penurunan penjualan setelah pemerintah mengenakan cukai untuk minuman berpemanis. Adhi bilang pihaknya masih harus menghitung secara lebih detail.
“Kalau dulu sempat mau dikenakan cukai juga dengan tarif Rp700 per liter sampai Rp800 per liter. Tapi itu saja sudah berat sekali. Saya belum tahu hitungan penurunan penjualannya masih harus dicek,” terang Adhi.
Adhi menyatakan kenaikan harga jual ke konsumen setelah cukai resmi diberlakukan bakal membuat penjualan menurun. Jika pendapatan perusahaan lesu, maka setoran pajak ke kantong negara juga ikut melorot.
“Jadi oke ada penerimaan tambahan dari cukai, tapi penerimaan pajak turun. Kalau dihitung-hitung lagi total penerimaan negara bisa turun juga karena hanya cukai yang naik,” ujar Adhi.
Menurutnya, pemerintah belum pernah mengajak pengusaha untuk berdiskusi mengenai rencana pengenaan cukai untuk minuman berpemanis. Oleh karena itu, Adhi menyebut pihaknya bakal mengirimkan surat resmi ke Menteri Keuangan Sri Mulyani.
“Gapmmi belum dilibatkan. Kami akan kirim surat sebenarnya tujuannya apa pengenaan cukai,” kata Adhi.
Jika tujuannya untuk mengurangi penyakit yang diakibatkan karena gula seperti diabetes dan obesitas, Adhi menganggap pengenaan cukai tak akan efektif. Dia bilang belum pernah ada bukti dua penyakit itu berkurang karena kebijakan cukai pemerintah.
“Ini tidak ada bukti, ini juga sudah dibahas di regional,” imbuh Adhi.
Lagi pula, Adhi mengklaim pengusaha minuman sudah berupaya mengurangi gula dalam memproduksi minuman berpemanis. Namun, proses pengurangannya dilakukan secara bertahap agar produk tetap dibeli oleh konsumen.
“Kami juga mengganti gula yang lebih sehat, ada pengurangan juga. Kami lakukan bertahap tidak drastis,” jelas Adhi.
Sebelumnya, Sri Mulyani mengusulkan mengenakan cukai terhadap minuman berpemanis kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah mengklaim minuman berpemanis dapat membahayakan kesehatan karena menimbulkan penyakit diabetes hingga obesitas.
Sri Mulyani berencana mengenakan tarif cukai untuk teh kemasan sebesar Rp1.500 per liter. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, jumlah produksi teh kemasan sebanyak 2,19 juta liter per tahun. Dengan pengenaan itu, potensi penerimaan negara diproyeksi sebesar Rp2,7 triliun.
Kemudian, tarif cukai karbonasi diusulkan sebesar Rp2.500 per liter. Jika jumlah produksi karbonasi mencapai 747 juta liter per tahun, maka ada potensi penerimaan negara sebesar Rp1,7 triliun.
Lalu, Sri Mulyani menyatakan potensi penerimaan negara dari pengenaan cukai minuman kemasan, seperti kopi hingga minuman energi sebesar Rp1,85 triliun. Angka itu bisa terealisasi jika tarif cukai yang diusulkan sebesar Rp2.500 per liter dengan jumlah produksi 808 juta liter per tahun.
Jika dijumlah, total potensi penerimaan negara dari pengenaan cukai minuman berpemanis sebesar Rp6,25 triliun dalam satu tahun.(finta rahyuni)