RI Jadi Negara Maju, Begini Dampaknya Terhadap Ekspor

Amerika Serikat (AS) resmi mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang ataw Developing and Least-Developed Countries (LGDCs) sejak 10 Februari 2020.
Amerika Serikat (AS) resmi mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang ataw Developing and Least-Developed Countries (LGDCs) sejak 10 Februari 2020.

JAKARTA, kaldera.id – Amerika Serikat (AS) resmi mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang ataw Developing and Least-Developed Countries (LGDCs) sejak 10 Februari 2020. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) melihat akan ada ancaman menurunnya ekspor Indonesia ke Amerika.

Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Shinta W Kamdani menilai keputusan Amerika mempengaruhi ekspor Indonesia secara signifikan.

“Pertama, manfaat fasilitas sistem tarif preferensial umum (Generalized System of Preference/GSP) AS untuk produk ekspor asal Indonesia akan hilang seluruhnya karena berdasarkan aturan internal AS terkait GSP, fasilitas ini hanya diberikan kepada negara yang mereka anggap sebagai LDCs dan negara berkembang,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (21/02/2020).

Jadi Negara Maju, Indonesia Tidak Berhak Menerima GSP

Shinta melihat dengan adanya redesignation Indonesia sebagai negara maju oleh AS, secara logika Indonesia tidak lagi berhak (eligible) sebagai penerima GSP apapun hasil akhir dari kedua review GSP yang sedang berlangsung terhadap Indonesia.

Tentu dengan dianulirnya fasilitas GSP, menurut Shinta memberikan efek gulir yang signifikan. Salah satunya, semua produk ekspor Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi perdagangan berdasarkan ketentuan subsidy & countervailing measures AS.

Shinta menjelaskan, produk-produk Indonesia yang dianggap memiliki keunggulan komparatif di pasar AS, misalnya berdasarkan penguasaan market shares atau keluhan pelaku usaha AS, akan rentan terkena penyelidikan subsidi perdagangan oleh Amerika.

Shinta menyatakan meskipun konteksnya hanya penyelidikan, pembukaan penyelidikan subsidi secara otomatis akan langsung mengenakan tambahan tariff anti subsidi di atas tarif  most favoured nation (MFN) sampai sidang menyatakan bahwa produk yg diselidiki tersebut bebas subsidi.

Oleh karena itu, Shinta menilai kerugian pangsa pasar di AS bisa menjadi sangat signifikan dan tiba-tiba karena  penyelidikan ini bisa dimulai kapan saja. Begitu dimulai, pangsa pasar ekspor dan kinerja ekspor Indonesia serta-merta turun drastis seperti yang terjadi dengan kasus penyelidikan subsidi AS terhadap biofuel asal Indonesia.

“Kalau ini terjadi pada banyak komoditas yang dijual ke AS, kinerja ekspor RI-Amerika bisa turun dengan signifikan dan kemungkinan besar tidak bisa naik lagi,” tegasnya.

Hal ini bisa terjadi karena Shinta melihat  karakter AS dalam mengenakan tariff anti dumping & anti subsidi sangat tinggi, bisa mencapai 300% di atas tarif MFN. (finta)