Site icon Kaldera.id

Cegah Corona ‘Jadi-jadian’ Akibat Stres dan Cemas Berlebihan

Cegah Corona ‘Jadi-jadian’ Akibat Stres dan Cemas Berlebihan

Cegah Corona ‘Jadi-jadian’ Akibat Stres dan Cemas Berlebihan

JAKARTA, kaldera.id – Takut, stres dan, cemas jadi sesuatu yang normal terlebih masa-masa menghadapi pandemi virus corona jenis baru atau SARS-CoV-2. Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa, Andri mengingatkan untuk cakap mengelola stres dan tak terlalu cemas dalam menghadapi virus penyebab Covid-19 ini.

Dokter yang melakukan praktik di klinik psikosomatik Omni Hospital Alam Sutera ini melalui channel Youtube pribadinya, Andri Psikosomatik, mengutarakan bahwa cemas berlebih malah bisa menimbulkan gejala-gejala seperti gejala pada virus corona. Namun sesungguhnya gejala ini merupakan manifestasi rasa cemas, bukan akibat infeksi virus.

“Kecemasan ditambah ingatan buruk mengenai corona itu bisa menimbulkan gejala ‘corona-coronaan’ atau gejala terkait kondisi seperti itu. Kalau dalam ilmu kedokteran jiwa itu dikenal sebagai istilah psikosomatik,” ungkap dia.

Pada CNNIndonesia.com, Andri menjelaskan psikosomatik dipahami sebagai kondisi orang yang mengalami gejala fisik tetapi sebenarnya ketika diperiksa tak ada perubahan fungsi organ dan tidak ada masalah medis. Ini pun bisa dijelaskan secara ilmiah menilik dari sistem saraf tubuh.

Gejala psikosomatik terjadi akibat ketidakstabilan sistem saraf otonom, di mana sistem saraf simpatis dan saraf parasimpatis tidak seimbang. Ini biasanya terjadi akibat faktor stres yang tidak mampu diadaptasi dengan baik. Kemudian tubuh mengalami tekanan terus-menerus lalu timbul gejala psikosomatik.

Menghadapi Pandemi Virus Corona

Dia berkata di masa pandemi seperti ini, orang berisiko mengalami psikosomatik. Setiap hari orang disuguhi berita virus corona lewat beragam media. Lalu timbul rasa cemas.

“Saat orang mendapat info yang bermakna dan terus-menerus, ini disimpan di amigdala, pusat memori. Pusat memori ini juga merupakan pusat kecemasan.

Kalau kelebihan beban, juga akan merespons dengan kecemasan seolah merasa ketakutan luar biasa akibat keadaan itu. Ini suatu tekanan untuk diri kita, otak, stres negatif, bisa jadi gejala psikosomatik,” jelas Andri saat dihubungi melalui pesan singkat, Senin (23/3/2020).

Seperti apa gejalanya? Andri menjelaskan, gejala biasa dikaitkan dengan kondisi yang sedang terjadi. Dulu orang cemas gejalanya mirip seperti orang sakit jantung seperti keringat dingin, jantung berdebar. Sedangkan saat pandemi seperti ini, gejala bisa mirip orang yang terinfeksi covid-19 seperti batuk pilek, demam dan sesak napas.

Perlu dipahami gejala psikosomatik dan gejala covid-19 yang sebenarnya berbeda meski ada kemiripan. Demam perlu dicek lagi apakah demam tinggi atau sekadar ‘suam-suam kuku’. Batuk dan pilek bisa diupayakan dengan perbaikan istirahat dan asupan makanan. Kemudian jika sampai pada sesak napas, ini yang perlu diamati lagi.

“Saya ada pasien gangguan cemas bilang ‘Saya sesek Dok’. Lalu saya ajak ngomong, enggak masalah. Sesak napas, sesaknya sesak di pikiran, gejalanya hilang timbul,” imbuhnya.

Psikosomatik bisa dicegah. Andri berkata orang perlu memiliki waktu untuk diri sendiri dan lepas dari asupan berita atau informasi yang tidak pas. Orang bisa mengandalkan laman resmi Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga laman-laman milik perhimpunan dokter spesialis.

Selain itu, batasi waktu untuk mengakses informasi terkait pandemi. Anda bisa memberi waktu semisal satu jam sekali.

“Lakukan aktivitas lain, misal beres-beres rumah, bersih-bersih, jangan hanya fokus dengerin berita covid-19, lama-lama ya mabuk,” kata dia lagi.(cnn/tim)

Exit mobile version