MEDAN, kaldera.id – Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah yang juga Ketua Dewan Pers 2022-2025, Prof Dr Azyumardi Azra, wafat pada 18 September 2022 di Selangor, Malaysia. Jenazahnya akan dimakamkan esok 19 September 2022 di Jakarta, tepatnya Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
Prof Azra wafat dalam kunjungan ilmiahnya ke negeri jiran itu. Ia mengalami sesak nafas di atas pesawat dan dilarikan ke rumah sakit setempat pada 16 September 2022. Ia harusnya mengisi Konferensi Internasional bertajuk “Kosmpolitan Islam: Mengilham Kebangkitan, Meneroka Masa Depan” yang digelar di Bangi Avenue Convention Centre, Kajang, 17 September 2022. Kegiatan ini merupakan bagian dari Persidangan Antarbangsa Kosmpolitan Islam Sempena, Muktamar Sanawi ke 51, Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM)
Dalam buku konferensi yang diterima penulis, Prof Azyumardi Azra menjadi pembicara bersama sejumlah pakar Asia Tenggara. Terlihat juga kegiatan ini dihadiri oleh Anwar Ibrahim. Dalam buku itu, termaktub buah pikir Prof Dr Azyumardi Azra yang belum sempat ia paparkan di arena internasional itu. Tulisan itu berjudul, “NUSANTARA UNTUK KEBANGKITAN PERADABAN: MEMPERKUAT OPTIMISME DAN PERAN UMAT MUSLIM ASIAN TENGGARA”. AZYUMARDI AZRA-NUSANTARA UNTUK KEBANGKITAN PERADABAN
File utuh buku konferensi dapat diunduh pada link di bawah, berikut kutipannya:
Karya Terakhir Prof Azyumardi Azra
“Asia, termasuk Asia Tenggara dengan penduduk Muslim mayoritas berjumlah besar di
Indonesia dan Malaysia hari ini dan ke depan memiliki potensi besar untuk kembali menjadi pusat peradaban dunia. Berbagai indikator mendukung optimisme tersebut. Sementara AS dan Eropa mengalami ‘kemunduran’ dan bahkan krisis ekonomi yang berkelanjutan, berbagai negara Asia yang sudah developed, seperti Jepang dan Korea Selatan, tetap bertahan—jika tidak kian meningkat. Pada saat yang sama, sejumlah negara Asia tengah bangkit (emerging) sejak dari China, India, Indonesia, Malaysia, Iran, Singapura dan Thailand.
Kemajuan ekonomi yang cukup fenomenal negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim Indonesia dan Malaysia telah mendorong peningkatan kualitas pendidikan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan living condition masyarakat. Di masa silam, ketika kegelapan masih menyelimuti Eropa, Amerika, dan Afrika, Asia menjadi pusat peradaban dunia. Hampir seluruh agama besar dunia lahir dan berkembang di Asia, sejak dari Hindu, Budha, Shinto, Zoroaster, Konghucu, Yahudi, Kristianitas dan Islam sampai Sikhism dan Baha’i. Agama-agama menjadi salah satu faktor penting dalam pertumbuhan peradaban Asia, baik politik, sosial, budaya, ekonomi, yang pada gilirannya memberikan warisan (legacy) yang tidak ternilai.
Peradaban China, India, Persia, dan kemudian Muslim—yang membentuk sintesa
distingtif dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi—pada abad
pertengahan memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan peradaban Eropa.
Disintegrasi politik dan kemunduran ekonomi memberikan jalan lebar bagi kekuatan-kekuatan Eropa sejak abad 16 menguasai banyak bagian Asia. Kolonialisme jelas membuat terjadinya retardasi peradaban Asia. Dan, sekitar 60an tahun pasca-Perang Dunia II, Asia kembali menunjukkan tanda-tanda bangkit kembali sebagai pusat peradaban.
THE DECLINE OF WESTERN CIVILIZATION
Wacana tentang ‘kemerosotan peradaban Barat’ (the decline of Western civilization)—yang secara implisit memberi peluang bagi kebangkitan kembali peradaban Asia—bukan sesuatu hal baru. Sejarawan terkemuka Oswald Spengler pada usia 38 tahun menerbitkan karya dua jilid The Decline of the West; jilid pertama diterbitkan pada 1918 dan jilid kedua pada 1922. Dalam buku ini dia melacak asal usul dan perjalanan peradaban Barat dalam perspektif memudarnya peradaban klasik Eropa. Dia berargumen lebih lanjut, bahwa kemunduran peradaban Barat bahkan sudah bermula sejak abad 20.
Memang terjadi perdebatan sengit di antara para sarjana dan ahli Barat tentang apa yang
dimaksudkan Spengler dengan istilah ‘kemunduran’ (decline), yang semula menggunakan
istilah Jerman ‘untergang’, yang lebih tepat berarti ‘kejatuhan’ (downfall). Spengler sendiri menjelaskan kemudian, yang dia maksud bukan kejatuhan katastropik, tetapi kemunduran atau kejatuhan berselang-seling.
Secara kolektif, AS beserta negara-negara Eropa Barat maju seperti Jerman, Prancis,
dan Inggris yang merupakan inti (core) peradaban Barat, suka atau tidak, tetap menduduki posisi dominan dan hegemonik terhadap bagian-bagian dunia lain, termasuk khususnya Dunia Muslim. Meski terdapat negara-negara Muslim yang mencapai kemajuan ekonomi dan politik secara signifikan, mereka belum mampu melepaskan diri dari dominasi dan hegemoni Barat.
Meski demikian, kian banyak ahli—bahkan orang Amerika sekalipun—berbicara
tentang The Decline and Fall of the American Empire, seperti judul karya James Quinn (2009) atau sebelumnya Jim M Hanson (1993) dan Gore Vidal (1992) dengan judul yang sama. Bahkan masa jaya Amerika seolah-olah telah lewat sebagaimana terkesan dalam judul buku Fareed Zakaria The Post American World (2008). Judul-judul dan substansi buku itu bisa jadi menyesatkan sementara orang Asia yang mengharapkan kejatuhan Amerika. Memang jelas, terlihat kemunduran, atau sedikitnya, bahwa AS jalan di tempat, sementara negara-negara lain seperti Jepang, Korea Selatan dan China kian menanjak. Tetapi juga jelas, seperti argumen Fareed Zakaria dalam The Post American World dan kolom-kolomnya di majalah Newsweek, Amerika masih tetap memegang supremasi dalam ilmu pengetahuan dan sainteknologi.
Persepsi tentang ‘kemerosotan’ Amerika itu bisa bertambah kuat belaka, ketika
dunia menyaksikan kebangkitan China dalam bidang ekonomi, sains dan teknologi. China
bahkan dengan segera mengalahkan Jepang sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia.
Kebangkitan China seolah merupakan sebuah ‘miracle’ (mukjizat), yang membuat Dunia
Barat, khususnya AS sangat nervous. Tekanan-tekanan AS agar China membuka pasarnya, membebaskan mata uangnya, dan menghormati HAM dan demokrasi terbukti lebih sering diabaikan begitu saja oleh para penguasa China. Hal ini, tidak lain terutama karena kian menguatnya ‘ketergantungan’ AS pada China dalam ekonomi dan devisa.
SUARA DARI ASIA TENGGARA
Telah cukup lama, pemerintahan berbagai Muslim di Asia Barat dan Asia Selatan
memberikan perhatian khusus dan menaruh harapan pada kaum Muslim Asia Tenggara.
Fenomena ini misalnya terlihat dari ‘Suara dari Asia’, persisnya Asia Tenggara. Kian banyak harapan yang ditumpukan kepada negara-negara Asia Tenggara—khususnya Indonesia dan Malaysia, yang memiliki penduduk Muslim terbesar di Dunia Muslim untuk memainkan peran lebih proaktif dalam membantu berbagai masalah di dunia.
Dalam laporan ‘Suara dari Asia’, lingkaran kekerasan yang terus meningkat di
kawasan WANA haruslah diputus, dan diganti dengan proses dialog, demokrasi dan hukum yang adil dan efektif. Berbagai upaya juga harus dilakukan untuk memperluas dan
memberdayakan partisipasi setiap warga masyarakat dalam pemerintahan demokratis pada level lokal dan nasional. Peningkatan partisipasi politik tersebut seyogyanya tidaklah semata-mata dengan penyertaan para warga dalam rencana-rencana politik yang telah disiapkan sebelumnya; tetapi haruslah berkelanjutan atas dasar kesetaraan. Partisipasi para warga yang berkelanjutan ini dalam pemerintahan mereka sendiri tak ragu lagi meningkatkan harkat dan nilai kemanusiaan.
Dalam konteks itu, perlu identifikasi civil society guna pemberdayaan mereka. Pada
tahap selanjutnya perlu pengembangan konsep ‘kewargaan’ (citizenship) yang demokratis, yang memiliki komitmen pada ‘civic culture’ dan keadaban. Lebih jauh, proses-proses politik yang terjadi di kawasan WANA sering memanipulasi identitas keagamaan sehingga mencapai tingkat ekstrimitas yang mencemaskan. Karena itulah peran civil society, khususnya yang berbasiskan keagamaan (religious-based civil societies) menjadi sangat penting untuk membendung proses-proses manipulasi politik yang berujung dengan ekstrimisme tersebut. Civil society yang berbasiskan agama dengan demikian dapat terlibat lebih aktif dalam menghadapi ektrimisme. Dan, tidak kurang pentingnya, organisasi-organisasi civil society mesti memperkuat kerjasama antaragama untuk menemukan nilai-nilai yang sama yang dapat membantu terciptanya saling
pengertian dan kerjasama dalam menghadapi masalah bersama.
Apa yang dikemukakan dalam laporan dokumen ‘Suara dari Asia’, bukanlah sesuatu
yang baru bagi wacana dan praktek kehidupan politik demokratis dan sosial kewargaan di
Indonesia dan Malaysia. Berbagai lembaga dan organisasi civil society telah, sedang dan terus memainkan peran penting dalam memperkuat demokrasi dan kehidupan sosial-politik yang harmonis dan damai. Indonesia dan Malaysia yang berpenduduk mayoritas Muslim—di tengah keragaman sosial-budaya dan keagamaan dan politik demokratis yang terus berkemban, dalam pandangan orang luar sekali lagi, telah menjadi contoh baik bagi masyarakat internasional. Masalahnya kini, apakah kita mau memenuhi harapan itu; atau kita masih saja berusaha memenuhi harapan itu seadanya saja, tanpa upaya serius untuk lebih meningkatkannya.
KEBANGKITAN PERADABAN ISLAM
Setidaknya dalam empat dasawarsa terakhir, ada euforia di kalangan Muslim sejagat tentang ‘kebangkitan peradaban Muslim’; atau bahkan ‘kebangkitan Islam’. Meski ada pencapaianpencapaian tertentu yang membuat kalangan Muslim bisa optimis tentang ‘kebangkitan peradaban’ tersebut; tapi dalam segi-segi lain, cukup banyak pula gejala dan kecenderungan yang membuat pandangan tersebut boleh jadi lebih sekedar retorik daripada kenyataan.
Refleksi penulis kertas kerja ini tentang perkembangan peradaban Muslim pada
masa kontemporer itu menguat setelah pernah mengikuti diskusi terbatas Institute for the
Study of Muslim Civilization (ISMC), Aga Khan University, London, 29 Mei 2008.
Memang belum ada evaluasi dan assessment yang komprehensif tentang kondisi peradaban Muslim dewasa ini; tetapi setidak-tidak sejumlah observasi telah dilakukan banyak kalangan khususnya para ahli peradaban Muslim sendiri. Secara demografis, jumlah kaum Muslimin meningkat secara signifikan pada tingkat internasional. Diperkirakan jumlahnya lebih dari 1,9 milyar jiwa (2022); berarti merupakan
masyarakat agama kedua terbesar setelah Kristianitas (Katolik dan Protestan digabungkan).
Dan peningkatan itu, terutama sebagai hasil dari pertumbuhan kelahiran, karena masih
banyak kaum Muslimin yang tidak menjalankan keluarga berencana. Dengan jumlah yang
terus meningkat itu, kaum Muslim pada dasarnya memiliki potensi yang kian besar pula;
tidak hanya untuk membangun peradaban Muslim, tetapi juga pada peradaban dunia secara keseluruhan. Tetapi potensi itu belum bisa diwujudkan. Jumlah penduduk Muslim yang begitu besar belum dapat menjadi aset, tetapi sering lebih merupakan liabilities. Hal ini tidak lain, karena kebanyakan penduduk Muslim tinggal di negara-negara kerkembang; atau bahkan di negara-negara terkebelakang, yang secara ekonomi menghadapi berbagai kesulitan berat seperti kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat seiring meningkatnya krisis enerji dan krisis pangan dunia.
Lebih daripada itu, dengan kondisi ekonomi, sosial dan politik yang tidak menentu,
pendidikan di banyak kalangan kaum Muslimin bukan hanya tidak kompetitif vis-a-vis
masyarakat lain, tetapi bahkan sering di bawah standar. Bukan hanya itu, banyak anak tidak mendapatkan pendidikan; terpaksa mengalami putus sekolah, yang akhirnya membuat mereka tidak punya masa depan untuk memajukan diri sendiri, apalagi peradaban Muslim dan peradaban dunia. Memang ada negara-negara Muslim kaya berkat minyak, yang mendatangkan windfall terus menerus karena kenaikan BBM yang terus pula terjadi.
Tetapi pada segi lain, windfall tersebut justru menambah beban negara-negara Muslim yang tidak atau kurang memiliki sumber alam BBM; sebaliknya mereka harus mensubsidi negara-negara kaya minyak tersebut. Dan windfall yang diperoleh negara-negara Muslim kaya minyak itu tidak mengalir ke negara-negara Muslim miskin dalam bentuk grant atau investasi; jika ada, jumlahnya tidak signifikan, boleh dikatakan hanya berupa tetesan (trickle) belaka. Karena itulah negara-negara Muslim yang miskin atau tengah berkembang harus mengandalkan sumber-sumber lain; termasuk menambah hutangnya dari negara-negara atau lembaga-lembaga keuangan Barat seperti World Bank, IMF dan sebagainya. Keadaan ini tidak bisa lain hanya menambah ketergantungan pada pihak Barat, yang pada gilirannya memiliki implikasi ekonomis, politis, dan bahkan psikologis di kalangan umat Muslimin.
Salah satu dampak psikologis itu adalah menguatnya sikap mental konspiratif;
bahwa para penguasa negara-negara Muslim berkolaborasi dengan pihak Barat, misalnya
saja, untuk mengembangkan ekonomi pasar yang liberal di negara-negara Muslim dengan
mengorbankan potensi-potensi ekonomi dalam masyarakat Muslim sendiri. Dampak lebih lanjut dari psikologi konspiratif ini dengan segera mengalir ke dalam kehidupan politik, dalam bentuk ketidakpercayaan pada rejim yang berkuasa, yang pada gilirannya mendorong berlangsungnya instabilitas politik terus menerus di banyak negara Muslim.
Psikologi konspiratif lebih jauh lagi membuat kalangan Muslim—khususnya sebagian ulama, pemikir dan aktivis Muslim—terperangkap ke dalam sikap defensif,
apologetik dan reaksioner; terpenjara ke dalam enclosed mind atau captive mind, mentalitas tertutup yang penuh kecurigaan dan syak wasangka. Akibatnya kalangan Muslim seperti ini lebih asyik pula dalam masalah-masalah furu’iyyah, baik dalam bidang sosial, budaya, pemikiran dan keagamaan. Buahnya adalah keterjerambaban ke dalam tindakan dan aksiaksi yang kurang produktif dalam upaya memajukan peradaban Muslim.
Karena itu, jika kita mau berbicara tentang kemajuan peradaban Muslim, sudah
waktunya kaum Muslimin membebaskan diri dari psikologi konspiratif dan enclosed mind. Pada saat yang sama lebih menumbuhkan orientasi ke depan daripada romantisme tentang kejayaan peradaban Muslim di masa silam. Tak kurang pentingnya, kaum Muslimin seyogyanya lebih mengkonsentrasikan diri pada upaya-upaya kreatif dan produktif daripada terus dikuasai sikap defensif, apologetik, dan reaksioner yang sering eksesif.
PRASYARAT KEBANGKITAN
Kembali pada hal ‘kebangkitan peradaban Islam’, apakah kebangkitan China dan India juga bakal mengimbas dan mendorong kebangkitan peradaban Islam yang juga berporos di Asia Tenggara dengan Indonesia dan Malaysia sebagai motornya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu berbicara tentang beberapa prasyarat bagi kebangkitan peradaban yang kontributif bagi peradaban dunia secara keseluruhan. Prasyarat utama adalah stabilitas politik. Demokrasi Indonesia yang telah diadopsi dan dipraktekkan sejak 1999 masih perlu dikonsolidasikan dalam tiga hal: basis konstitusional-legal, kelembagaan (parpol, legislatif dan eksekutif), dan budaya politik. Hanya dengan konsolidasi lebih lanjut dapat ditegakkan good governance, penegakan hukum, dan kohesi sosial.
Sedangkan di Malaysia juga mendesak perlu konsolidasi kekuatan politik umat Islam
yang terceraiberai dalam beberapa tahun terakhir. Keadaan ini jelas tidak menguntungkan
untuk mempertahankan hegemoni politik dan kekuasaan Melayu baik di eksekutif maupun legislatif. Juga tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi yang mutlak perlu bagi kemajuan puak Melayu khususnya.
Konsolidasi demokrasi dan politik di kedua negara berpenduduk mayoritas Muslim
ini mutlak untuk pembangunan peradaban utama juga meniscayakan partisipasi publik
dalam proses politik demokrasi dengan segala ekses negatif yang sudah sampai pada titik
yang tidak bisa dimundurkan lagi (point of no return). Tetapi juga jelas, proses politik
demokrasi di Malaysia dan Indonesia masih menyisakan banyak masalah, sejak dari
fragmentasi politik, kepincangan politik, oligarki politik, korupsi, tidak fungsionalnya check and balances dan seterusnya.
Pendidikan jelas merupakan prasyarat mutlak bagi kebangkitan peradaban Islam.
Untuk dapat menjadi tulang punggung kebangkitan peradaban, pendidikan Malaysia dan
Indonesia bukan hanya harus mencapai pemerataan (equity), tapi juga harus semakin
berkualitas sejak dari tingkat dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Hanya dengan
pendidikan seperti itu, kaum muda negeri ini dapat bertransformasi bersama menuju
kemajuan peradaban.
Dalam konteks itu, pendidikan tinggi khususnya harus dikembangkan tidak hanya menjadi sekadar teaching higher institution—atau universitas pengajaran—tetapi sekaligus menjadi research institution. Proses pendidikan di perguruan tinggi sudah waktunya berbasiskan riset (research-based education).
Prasyarat tak kurang pentingnya adalah pemberdayaan kembali masyarakat madani,
masyarakat sipil, masyarakat kewargaan atau civil society. Karenanya, salah satu agenda pokok yang harus dilakukan secara berkelanjutan adalah pemberdayaan kembali masyarakat madani yang selama ini bukan tidak mengalami disorientasi karena proses politik manipulatif dan divisif. Masyarakat madani di kedua negara ini memiliki peran dan leverage yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Masyarakat sipil hendaknya terus berdiri di depan dalam pemberdayaan masyarakat dalam upaya mewujudkan peradaban utama yang
demokratis dan berkeadilan.
Salah satu kunci pokok lainnya dalam pembentukan peradaban utama adalah
pengembangan dan peningkatan keadaban masyarakat (public civility). Dalam disrupsi sosialkultural sebagai dampak tidak diharapkan dari Revolusi 5.0 kita menyaksikan semakin merosotnya keadaban publik dalam bentuk pelanggaran hukum, rendahnya disiplin masyarakat, dan seterusnya. Banyak kalangan terlihat tidak lagi malu melakukan hal bertentangan atau tidak sesuai dengan keadaban publik. Pemerintah dan masyarakat sipil atau masyarakat madani (Civil Society) sepatutnya memberikan perhatian khusus pada penegakan kembali etika dan keadaban publik. Hanya dengan keadaban publik yang kuat, negara Indonesia dapat maju, berharkat, dan berperadaban.
Peradaban jelas tidak bisa maju dan hanya bisa terbentuk jika negara-bangsa
Indonesia dan Malaysia memiliki tingkat kemajuan ekonomi berkeadilan. Selama masih
banyak bagian masyarakat Muslim yang miskin dan dhuafa, jelas sulit berbicara tentang
peradaban utama. Dalam konteks itu, Indonesia khususnya patut terus meningkatkan usaha pengembangan dan pemberdayaan ekonomi rakyat yang sering dianaktirikan sebagai sektor ‘informal’. Memang selama ini pemerintah telah berusaha dan bergerak dalam bidang ini, tetapi tampaknya belum banyak hasil yang dicapai, karena masih saja ada sekitar 40 sampai 50 juta penduduk miskin. Karena itu pemerintah perlu melakukan berbagai terobosan baru dan mengambil kebijakan affirmatif untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan; membantu pengembangan berbagai usaha kecil dan menengah yang melibatkan banyak warga Indonesia.
Kebangkitan peradaban juga memerlukan pemanfaatan sumber daya alam secara
lebih bertanggungjawab. Sejauh ini, kekayaan alam di Indonesia dan agaknya juga di
Malaysia cenderung dieksploatasi secara tidak semena-mena dan tidak bertanggungjawab.
Akibatnya muncullah berbagai bencana sejak dari banjir bandang, banjir besar, kebakaran
hutan, bencana asap dan seterusnya. Dalam konteks terakhir ini, kaum Muslimin di Asia Tenggara perlu memberi contoh tentang penerapan Islamisitas atau nilai-nilai Islam secara aktual dalam penyelamatan alam lingkungan dan sumber daya alam. Di sini kaum Muslim harus memperkuat integritas diri pribadi dan komunitas, sehingga dapat mengaktualkan ‘Islam rahmatan lil ‘alamin’ dengan peradaban yang juga menjadi blessing bagi alam semesta.(*)” Makalah Persidangan A’bangsa Kosmopolitan Islam – 17 Sept 22 (efri/red)