Site icon Kaldera.id

Di Seminar Nasional Ikafeb USU Ketua Kadin Sumut Ingatkan Waspadai “Food Crisis”

Ketua Kadin Sumut Firsal Ferial Mutyara mengingatkan pemerintah daerah untuk mewaspadai munculnya food crisis (krisis pangan) pasca ketidakpastian global yang terus terjadi akibat perang Rusia-Ukraina.

Ketua Kadin Sumut Firsal Ferial Mutyara mengingatkan pemerintah daerah untuk mewaspadai munculnya food crisis (krisis pangan) pasca ketidakpastian global yang terus terjadi akibat perang Rusia-Ukraina.

 

MEDAN, kaldera.id – Ketua Kadin Sumut Firsal Ferial Mutyara mengingatkan pemerintah daerah untuk mewaspadai munculnya food crisis (krisis pangan) pasca ketidakpastian global yang terus terjadi akibat perang Rusia-Ukraina.

Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara pada seminar nasional bertema daya tahan ekonomi nasional dan regional Sumatera Utara di tengah ketidakpastian global yang diselenggarakan ikatan alumni Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (Ikafeb USU) di gedung Bank Indonesia, Sabtu (26/08/2023).

Hadir sebagai pembicara utama di acara tersebut Destry Damayanti, deputi gubernur senior BI, M Chatib Basri, komisaris utama Bank Mandiri dan Usli, direktur utama PT Mahkota Grup Tbk. Acara ini dibuka oleh IGP Wira Kusuma, kepala perwakilan BI Sumut.

Ketua Kadin Sumut yang akrab dipanggil Firsal Dida Mutyara menyampaikan hal itu setelah mendengar paparan M Chatib Basri terkait kondisi ekonomi global dan Destry Damayanti. Destry Damayanti sempat menyinggung bahwa ada beberapa masalah global yang mempengaruhi BI dalam membuat kebijakan.

“Terutama konflik Rusia-Ukraina yang belum berakhir. Kita lihat ekspektasi harga minyak masih akan tinggi. Belum lagi Rusia-Ukraina ini adalah penghasil gandum serta pengaruh el nino. Yang kita perkirakan tentu akan terjadi gangguan pada rantai pasok,” kata Destry.

Dengan begitu beberapa negara lain termasuk India mulai memproteksi pangan mereka karena kekhawatiran terhadap kondisi global yang tidak menentu. Sementara di sisi lain harga komoditas seperti batubara, CPO dan sebagainya akan melandai pengaruh perlambatan ekonomi Tiongkok.

Dari fakta itu pula Firsal Dida Mutyara mengingatkan agar semua pihak mengantisipasi terjadinya krisis pangan. Menurutnya, rententan perang Rusia dan Ukraina bisa mendorong krisis energi dan krisis pangan. “Sekarang banyak negara mulai mengamankan stok kecukupan pangan mereka,” kata Firsal Dida Mutyara.

“Dua hari lalu saya bertemu dengan Konsulat Singapura, mereka sedang berupaya memenuhi stok pangan. Jadi ke depan situasi bukan aman-aman saja. Belum lagi misalnya ke depan jika India benar-benar menahan beras dan gula mereka, itu akan berbahaya bahkan sampai ke Sumut,” tuturnya.

Harus difahami Sumut bukanlah pemain inti beras dan gula jadi ini harus diantisipasi agar jangan ada krisis pangan ke depan, jelasnya. Apalagi jika dilihat salah satu sumber masalah inflasi Sumut adalah penyediaan pangan. “Coba kita lihat faktor penyumbang inflasi Sumut termasuk komoditas beras, cabai dan bawang. Jika ke depan kita tak mengantisipasi situasi global bukan tidak mungkin kebijakan pengetatan pangan yang dilakukan negara lain akan mengimbas ke Sumut,” ucapnya.

Di forum itu Firsal Dida Mutyara juga menjelaskan kontribusi ekonomi Sumut terhadap perekonomian nasional. “Kita lihat data kontribusi daerah ini ke nasional 5,2 persen. Sampai di triwulan kedua 2023 PDRB Sumut itu mengalami kenaikan lima persen dibanding tahun lalu. Harapannya tahun ini tembus di angka Rp1.000 triliun,” jelasnya.

Dia mengatakan Kadin Sumut sering menyampaikan ke Pemprovsu bahwa perputaran uang di daerah didominasi swasta. Dengan melihat peran APBD yang Rp80 triliun dibanding PDRB yang Rp1.000 triliun menunjukkan besarnya peran swasta dalam perekonomian Sumut, kata Firsal Dida Mutyara.

“Lebih dari 40 persen ekonomi kita didominasi swasta pada sektor perkebunan, pertanian dan setelahnya jasa. Di perkebunan kita masih mengandalkan sawit. Nah fokus Kadin Sumut termasuk mendorong tercapainya nilai tambah komoditas unggulan,” kata dia.

Jika ke depan harga komoditas akan terus mengalami penurunan, Firsal menegaskan selain hal itu yang membuatnya miris adalah Sumut bukan lagi pemain utama sawit.

Menurutnya, Sumut dan Aceh sekarang hanya bisa memproduksi enam juta ton sawit sepanjang tahun. Kalah dengan Riau yang memproduksi 10 juta ton. “Sekarang kita jadi follower. Itu juga bisa dilihat dari massif nya industri downstream di Riau karena bahan baku mereka terpenuhi.”

Di tengah situasi global yang kelihatannya tidak akan begitu mendukung harga komoditas dia berharap perkebunan sawit untuk terus diperhatikan. “Di Thailand beberapa waktu lalu saya diundang oleh Jerman untuk bicara soal sawit. Mereka tanya apakah industri ini sustainable. Saya jawab sustain. Kalau tidak sustain, mana mungkin Unilever, P&G dan industri lain berlomba masuk ke bisnis ini.”

“Kami empat generasi di bisnis ini dan sawit sebenarnya yang paling sustain dan cocok di Sumut. Itu pula sebabnya dibutuhkan proses peremajaan sawit yang harus berdampak signifikan,” ujarnya.

Dia menjelaskan sekarang harga sawit memang sedang bergerak stabil yang bisa saja diciptakan oleh kurangnya produksi Malaysia engan penurunan produksi jadi 20 juta ton. “Jika kemudian mereka kembali ke produksi semula dikhawatirkan harga akan turun. Perlu diingat bahwa sawit adalah salah satu penyumbang utama devisa kita,” ungkapnya.

Bukan hanya itu, dalam forum tersebut Firsal Dida Mutyara juga menjelaskan berbagai hal yang berhubungan dengan industri hospitality, daya saing UMKM dan pembenahan kualitas sumberdaya manusia untuk menghindari pengangguran.

Exit mobile version