Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk pada perdagangan hari ini, Jumat (26/4/2024). Penurunan ini terjadi di tengah banjirnya sentimen negatif yang membuat pasar modal tertekan.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk pada perdagangan hari ini, Jumat (26/4/2024). Penurunan ini terjadi di tengah banjirnya sentimen negatif yang membuat pasar modal tertekan.

MEDAN, kaldera.id – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk pada perdagangan hari ini, Jumat (26/4/2024). Penurunan ini terjadi di tengah banjirnya sentimen negatif yang membuat pasar modal tertekan.

Hingga akhir perdagangan, IHSG ambruk 1,67% ke posisi 7.036,07. IHSG kembali terkoreksi hingga menyentuh level psikologis 7.000. Posisi penutupan perdagangan hari ini adalah yang terendah sejak 24 November 2023 atau dalam lima bulan terakhir.

Lantas, apa saja faktor penurunan IHSG dalam beberapa waktu terakhir ini?

1. Kenaikan Suku Bunga Bank Indonesia

BI menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) ke level 6,25%, dari sebelumnya di level 6%. Adapun terakhir BI menaikkan suku bunga acuannya yakni pada Oktober 2023.

Kenaikan ini juga berbeda dengan hasil polling yang dihimpun oleh CNBC Indonesia Research, dari 14 institusi, sembilan di antaranya memproyeksi bahwa BI masih akan menahan suku bunga. Dari 14 institusi, hanya lima yang memperkirakan BI menaikkan suku bunga.

“Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 23-24 April 2024 memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 bp menjadi 6,25%,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat konferensi pers secara daring, Rabu (24/4/2024).

Suku Bunga Acuan BI (%)

Kenaikan suku bunga dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap pasar modal. Saat suku bunga naik, investor cenderung beralih ke instrumen investasi yang menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi, seperti obligasi, dibandingkan saham.

Hal ini mengakibatkan harga saham turun karena permintaan turun. Di sisi lain, obligasi yang sudah beredar mengalami penurunan nilai karena imbal hasilnya menjadi kurang menarik dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi yang ditawarkan oleh obligasi baru.

Selain itu, kenaikan suku bunga juga membuat biaya peminjaman bagi perusahaan atau individu yang ingin meminjam uang menjadi lebih mahal, yang dapat mengurangi investasi dan pengeluaran konsumen. Ini bisa berdampak negatif pada kinerja perusahaan dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Sektor perbankan yang merupakan penopang IHSG juga cukup tertekan akibat risiko gagal bayar meningkat akibat mahalnya bunga serta kredit tersalurkan menurun.

Beberapa emiten juga akan langsung terdampak negatif, mulai dari properti, sektor teknologi, hingga otomotif.

2. Imbal Hasil SBN Meningkat

Kenaikan imbal hasil SBN juga menjadi penyebab rontoknya IHSG. Investor akan cenderung memilih investasi rendah risiko seperti SBN yang memberikan imbal hasil menarik, sehingga aksi penjualan pada pasar modal menyebabkan tekanan.

Berdasarkan data Refinitiv, imbal hasil obligasi acuan RI selama 10 tahun pada penutupan hari ini, Jumat (26/4/2024) menyentuh posisi 7,2%. Posisi ini adalah yang tertinggi sejak November 2023.

Perlu diketahui, dalam obligasi pergerakan imbal hasil dan harga itu berlawanan arah. Jika imbal hasil naik, maka harga turun, karena banyak investor jualan.

Kenaikan imbal hasil ini bisa berdampak ke sejumlah hal mulai dari melemahnya rupiah hingga beban bunga utang pemerintah yang membengkak.

3. Pelemahan Rupiah

Rupiah yang terus tertekan dalam beberapa waktu terakhir menyebabkan kekhawatiran investor akan risiko yang terjadi. Pelemahan rupiah dapat menyebabkan biaya impor yang meningkat, sehingga harga BBM dapat naik dan Indonesia yang masih mengimpor minyak harus membayar dengan harga mahal.

Dampak kenaikan harga BBM dapat memberi efek domino pada berbagai sektor karena minyak merupakan bahan baku yang banyak digunakan dalam industri. Hal ini dapat mendorong inflasi pada berbagai sektor lainnya.

Kenaikan inflasi dapat menyebabkan bank sentral kembali hawkish, sehingga harapan suku bunga dipangkas perlahan mulai memudar.

Merujuk Refinitiv, rupiah ditutup di posisi Rp 16.205 per US$1 pada hari ini, Jumat (26/4/2024). Mata uang Garuda melemah 0,12%. Posisi tersebut adalah yang terendah dalam tiga hari terakhir.

Pelemahan rupiah ini akan berdampak besar terhadap sejumlah emiten yang banyak memiliki utang dalam jumlah besar seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP). Pelemahan mata uang Garuda juga membuat emiten yang banyak menggantungkan bahan mentah dari impor, seperti farmasi, terkena imbas negatif.

4. Capital Outflow

Investor asing sepertinya masih getol melepas saham-saham RI hingga perdagangan kemarin. Berdasarkan data pasar, asing mencatatkan penjualan bersih (net sell) di seluruh pasar saham RI hingga mencapai Rp 1,3 triliun. Dalam lima hari terakhir, asing mencatatkan net sell sebesar dari Rp 3,17 triliun.

aksi jual asing utamanya terlihat pada saham BBRI dengan penjualan bersih mencapai Rp 2,5 triliun dalam sepekan terakhir. Hal ini juga disebabkan oleh semakin tingginya imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN).  Ketika imbal hasil semakin tinggi, maka tandanya pasar obligasi semakin menarik. Alhasil, pasar saham apalagi rupiah harus merana.

Data Bank Indonesia berdasarkan transaksi 22-25 April menunjukkan investor asing  mencatat jual neto sebesar Rp 2,47 triliun. Net sell terdiri dari jual neto Rp2,08 triliun di pasar SBN, jual neto Rp2,34 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp1,95 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

5. Kejatuhan Saham Perbankan

Penurunan IHSG didorong oleh kompaknya penurunan semua sektor. Penurunan tertinggi dipimpin oleh sektor cyclical, kesehatan, keuangan, energi dan non-cyclical yang terjun lebih dari 1%.

Beberapa saham perbankan juga terpantau menjadi penekan (laggard) IHSG pada akhir perdagangan hari ini. (cnbc)