Ads

Habis Risma dan RK, Terbitlah Dedi Mulyadi, Armuji dan Lainnya

redaksi
11 Mei 2025 22:52
6 menit membaca

oleh: Fakhrur Rozi

FENOMENA tokoh politik atau pimpinan daerah yang menguasai jagat maya, bukan hal baru dalam 15 tahun terakhir. Masyarakat maya pernah sangat akrab dengan sosok dari kalangan sipil dan non-elite seperti Joko Widodo (Jokowi), Tri Rismaharini (Risma), Ridwan Kamil (RK), Ganjar Pranowo hingga Anies Baswedan.

Nama pertama, Jokowi, yang muncul sejak menjadi Walikota Solo, lalu terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta di 2012 hingga sukses menjadi Presiden ke 7 Republik Indonesia  selama 10 tahun dari 2014-2024. Risma yang mencuri perhatian publik sejak menjadi calon Walikota dan Walikota Surabaya pun paripurna sebagai Menteri Sosial RI.

Begitu juga RK. Sosok ini dapat dikatakan sebagai sosok yang paling mahir memanfaatkan media sosial pada masanya. Kemahiran itu dalam banyak riset membuat dia dikenal publik dan menjadi salah satu faktor yang mengantarkannya menjadi Walikota Bandung di 2013-2018 dan kemudian terpilih sebagai Gubernur Jawa Barat di 2018-2023.

Begitu juga dengan Ganjar dan Anies. Dua nama ini aktif di media sosial awal-awal, seperti Twitter dan Facebook dengan kapasitas sebagai kader partai politik. Ganjar adalah kader PDI Perjuangan yang menjadi anggota DPR RI lalu Gubernur Jawa Tengah periode 2013-2023.

Sementara Anies, yang pernah mengikuti konvensi calon Presiden Partai Demokrat di 2013 memikat Jokowi untuk menjadikannya Menteri Pendidikan pada 2014-2016. Kemudian Anies, juga terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017-2022. Fakta politik menyajikan, baik Ganjar dan Anies adalah calon Presiden RI di Pemilu 2024, yang kita ketahui dimenangkan oleh Presiden pilihan rakyat, Prabowo Subianto.

Muara Politik dari Jagat Maya

Perbedaan jelas terlihat dari nasib politik masing-masing bermuara; jadi presiden, jadi menteri, atau jadi gubernur. Tapi penulis melihat, ada kecenderungan persamaan mereka. Yakni kemampuan memanfaatkan media sosial untuk dikenal masyarakat atau menjadi media darling pun newsmaker. Istilah kekiniannya, mereka ini sering sekali viral atau FYP lah.

Satu bulan terakhir ini, algoritma media sosial kerap mengantarkan konten Dedi Mulyadi ke laman pengguna media sosial. Awalnya penulis berpikir hanya mengalami itu sendirian, ternyata memang mayoritas orang mengalami hal sama. Hal ini kemudian divalidasi oleh Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud saat rapat dengar pendapat DPR bersama Kementerian Dalam Negeri dan sejumlah kepala daerah di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, 29 April 2025.

”Kepada seluruh gubernur yang hadir hari ini. Kang Dedi, ’Gubernur Konten’, mantap ini Kang Dedi,” kata Rudy.

Memang, fenomena kepemimpinan digital yang diusung oleh Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, boleh jadi menginspirasi kepala daerah lain berkomunikasi dengan publik. Gaya politik ‘Nyunda’, blak-blakan, konten merakyat, dan kemampuan memanfaatkan media sosial secara efektif telah membuat Dedi dikenal dengan cara luar biasa di jagat maya.

Sementara Armuji, Wakil Walikota Surabaya, kontennya meledak (baca: viral/FYP) saat ia marah-marah ketika mengunjungi salah satu perusahaan di Surabaya, yang menahan ijazah SMA mantan pekerjanya pada 9 April 2025. Lewat sambungan telepon, Cak Ji, sapaan Armuji, bebicara dengan pemilik perusahaan dan ingin berjumpa. Saat pembicaraan itulah, Armuji marah karena disebut penipu oleh pemilik perusahaan yang tidak percaya kalau yang berbicara itu adalah Wakil Walikota Surabaya. Menurut penulis, dua gaya pimpinan daerah ini sedang menguasai jagat maya.

Dari penelusuran penulis Dedi Mulyadi (@dedimulyadi71) bergabung ke Instagram September 2014 dan terverifikasi Februari 2022. Sementara di platform Youtube, Dedi (Kang Dedi Mulyadi Channel) mulai bergabung di 17 November 2017. Kemudian, Armuji (@cakj1) bergabung Instagram pada April 2018 dan terverifikasi pada Maret 2021. Sedangkan di Youtube ia bergabung pada 15 Mei 2017 dengan nama channel, Armuji. Data ini menunjukkan mereka membangun media sosialnya sudah cukup lama.

Akar Gaya: Komunikasi Politik Platform

Dedi Mulyadi bukanlah sosok baru dalam dunia politik Indonesia. Selama dua periode menjabat sebagai Bupati Purwakarta (2008–2018), ia telah membangun citra sebagai pemimpin yang berbeda. Kebijakannya seperti larangan siswa membawa motor ke sekolah dan yang paling baru adalah memboyong remaja bermasalah di Jawa Barat ke barak militer untuk ditempah ulang. Imenjadi bukti bahwa ia tak segan mengambil langkah tidak populer demi tujuan tertentu.

Dedi semakin menonjol belakangan ini adalah kemampuannya beradaptasi dengan media sosial. Menurut penulis, Politisi Partai Gerindra ini tidak hanya sekadar hadir di platform digital, tetapi juga menguasai seni membangun narasi yang emosional dan mudah dibagikan (shareable content). Pesan pemimpin politik dan/atau pejabat publik tidak lagi disampaikan langsung dari pemimpin ke massa, tetapi melalui perantara sekaliber media sosial dan algoritmanya. Dedi Mulyadi paham betul cara memanfaatkan jaringan ini.

Platformisasi politik adalah penggunaan platform digital seperti media sosial, aplikasi, dan website untuk mempromosikan ide-ide politik, membangun basis dukungan, dan memengaruhi opini publik. Ya, media sosial kini memungkinkan partai politik, individu, dan kelompok untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan mengorganisir aktivis dengan lebih efisien.

Selain personal branding politik, gaya komunikasi pemimpin daerah seperti Dedi ini mengandung unsur populisme  anti-elit, pro-rakyat kecil, dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh audiens di mana ia berada. Dalam konteks media sosial, hal ini sangat efektif karena algoritma cenderung mendorong konten yang memicu emosi, seperti keharuan maupun kemarahan.

FOMO dan Jebakan Exposure

Penulis melihat belakangan ini, terutama pada sosok pemimpin daerah yang baru menjabat dan dilantik Presiden RI Prabowo Subianto, pada 21 Februari 2025, mulai pula mengikuti gaya komunikasi politik platform ini. Di Sumatera Utara misalnya, ada Walikota dan Bupati, yang mengemas aktivitas inspeksi mendadak (sidak) sebagai konten di media sosial di beragam platform.

Ada juga konten seorang bupati di Sumut, yang mengunjungi seorang nenek miskin, lalu menawarkan pembangunan rumah yang lebih layak huni. Penulis tahu, Si Bupati ini sudah pernah membantu warganya seperti itu, tapi tidak dikemas sedemikian rupa sebagai konten di media sosial.

Ada banyak dalil, kenapa pemimpin daerah melakukan platformisasi politik. Biaya relatif murah, jangkauan luas, terkesan responsif. Tapi poin penulis adalah munculnya kerentanan fear of missing out (FOMO). Jika satu kepala daerah sukses membangun citra melalui konten kreatif, kepala daerah yang lain merasa harus mengikuti, atau risikonya terlihat tidak bekerja.

Terlepas dari itu, aktivitas politik di platform ini memang tidak lagi dapat dihindarkan. Ya sudahlah, silakan saja. Sebagai masyarakat, penulis berharap aktivitas di media sosial para kepala daerah yang diklaim memicu ketenaran dan transparansi ini membuat kepala daerah tersebut bekerja sesuai harapan rakyatnya.

Awas juga, jangan sampai overexposure. Nanti rakyat Anda jenuh. Bisa-bisa, Anda populer di tempat lain karena konten Anda itu. Sementara rakyat di daerah Anda, malah tidak merasakan keberadaan Anda. Jangan-jangan, Anda mau pindah daerah pemilihan (Dapil) seperti Ridwan Kamil? Janganlah ya, tak jelas muaranya.(*)

*) Penulis adalah Dosen UINSU, Peminat Kajian Komunikasi Digital dan Praktisi Media