Dr Sudiyatmiko Aribowo, Alumnus Doktor Studi Pembangunan USUMEDAN, kaldera.id – Bencana di Pulau Sumatera yang belakangan terjadi mendapat perhatian serius sejumlah ahli. Termasuk salahsatunya pakar Studi Pembangunan USU, Dr Sudiyatmiko Aribowo SH.MH.
Dikatakan Sudiyatmiko, upaya penanganan bencana sering terkendala lemahnya koordinasi lintas sektor, keterbatasan data, dan belum optimalnya peran masyarakat.
Dia pun mengungkap pendekatan metode mitigasi, inklusif, kolaborasi dan organisasi (MIKO) sebagai kerangka terpadu untuk meningkatkan efektivitas penanganan banjir. Metode ini merupakan hasil disertasi Dr Sudiyatmiko sendiri. Diuraikannya, mitigasi berupa pencegahan dan pengurangan risiko. Ada sejumlah temuan yang diperolehnya.
Di antaranya infrastruktur pengendali banjir terbatas dan tidak merata. Kemudian, tata ruang belum sepenuhnya berbasis risiko serta rehabilitasi hutan gambut dan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang belum optimal.
“Permasalahan utama kita kan menurunnya kapasitas DAS akibat deforestasi dan sedimentasi sungai. Kemudian, drainase perkotaan tidak memadai terutama di Medan, Palembang, Jambi, Pekanbaru,” urai Sudiyatmiko, Selasa (9/12/2025) di Medan.
Untuk mitigasi ini, pria yang karib disapa Doktor Miko itu merekomendasikan sejumlah point. Di antaranya normalisasi dan revitalisasi sungai prioritas seperti Sungai Musi, Batanghari, Kampar, Siak, Asahan, dan Sungai Deli.
Kemudian melakukan rehabilitasi DAS Bukit Barisan dan hutan gambut dengan skema multiyears serta integrasi RTRW/RDTR dengan peta risiko banjir-larangan pembangunan di floodplain.
Motede kedua yakni inklusif melibatkan semua kelompok masyarakat. Temuan di lapangan bahwa informasi bencana belum menjangkau seluruh kelompok rentan serta partisipasi masyarakat desa masih minim dalam perencanaan. Untuk itu, dia menyarankan penyampaian informasi banjir dengan bahasa lokal dan media sederhana seperti radio, sirine, dan pengeras suara.
“Pembentukan dan penguatan Desa/Kelurahan tangguh bencana di seluruh wilayah rawan serta pelibatan kelompok perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas dalam penyusunan rencana kontinjensi. Pemetaan partisipatif bahwa masyarakat ikut menandai lokasi rawan, jalur evakuasi, titik aman,” jelas Miko.
Metode ketiga, kolaboratif. Yakni kerjasama multisektor. Sebab sambungnya, temuan di lapangan banyak kebijakan DAS bergantung pada lintas provinsi dan sektor.
“Maka diperlukan membentuk Forum Kolaborasi DAS Sumatera (lintas provinsi) untuk berbagi data dan SOP. Penetapan kemitraan dengan sektor swasta (sawit, tambang, industri) melalui skema CSR dan sebagainya. Serta kemitraan dengan NGO untuk dukungan sosial, trauma healing, logistik, dan edukasi masyarakat,” tandas Miko.
Metode terakhir yaitu organisasi. Metode ini berfokus pada penguatan lelembagaan dan manajemen operasi. Sebab seringkali struktural komando belum sepenuhnya menerapkan ICS (Incident Command System) serta pendanaan sering terhambat birokrasi.
Lewat metode ini, Miko menyarankan pentingnya implementasi penuh Incident Command System (ICS) di provinsi dan kabupaten/kota.
“Terapkan standarisasi SOP evakuasi, logistik, dan posko di seluruh Sumatera. Peningkatan kapasitas BPBD dan relawan melalui pelatihan teknis berkala juga pentingan untuk dilakukan serta penyediaan dana kontinjensi banjir tingkat provinsi sebagai respon cepat,” sambung Miko.
Penempatan posko PUSDALOPS permanen dengan dashboard terintegrasi juga sangat penting untuk mengetahui data debit air, curah hujan, visual drone, dan status jalan serta akses jalan dimaksud.
Jika rekomendasi ini diimplementasikan, maka dalam jangka panjang akan terbentuknya tata kelola banjir Sumatera yang terintegrasi, berkelanjutan, dan inklusif. Serta pemulihan ekosistem DAS dan pemanfaatan lahan yang lebih terkendali.
“Pendekatan MIKO memberikan kerangka komprehensif untuk penanganan banjir Sumatera, dengan menempatkan mitigasi, inklusivitas, kolaborasi, dan organisasi yang kuat, daerah rawan banjir dapat meminimalkan risiko dan meningkatkan ketahanan lingkungan maupun sosial-ekonomi,” pungkas Miko.(reza/red)