Bencana Dan Drama

redaksi
9 Des 2025 12:54
Medan News 0 1
5 menit membaca

Oleh Armin Nasution

 

MEDAN, kaldera.id – HINGGA tulisan ini dibuat jumlah korban meninggal akibat banjir besar dan tanah longsor yang melanda Sumatera meliputi Sumatera Barat, Sumatera Utara hingga Aceh sudah mencapai 940 orang menurut data BNPB (Badan Nasional Penaggulangan Bencana).

Ironisnya hingga hari ke-10 bencana yang terjadi sejak 24 November 2025 masih banyak daerah belum bisa dievakuasi akibat jalan putus dan ditimbun tanah longsor. Di tengah bencana ini berbagai upaya cepat dilakukan oleh pemerintah pusat hingga pemerintah daerah dibawah komando gubernur dan bupati/walikota.

Semua kepala daerah bekerja keras, tapi pada beberapa titik lebih keras lagi kerja relawan-relawan yang lebih dulu menerobos daerah yang tak mampu dievakuasi. Bencana memilukan ini tidak bisa lagi dihitung dengan nilai rupiah. Nyawa, keluarga yang hilang, rumah yang rata dengan tanah hingga desa yang tak nampak lagi asal-usulnya menjadi catatan bahwa tak ada lagi hitungan angka yang bisa mewakilinya.

Di awal bencana ini melanda, banyak blunder yang muncul. Termasuk misalnya Kepala BNPB berpangkat jenderal yang kemudian menyatakan riuh-nya bencana hanya di medsos walau kemudian dia meminta maaf. Padahal hingga kini jumlah korban pun masih terus bertambah.

Wawancara terbaru Bocor Alus Majalah Tempo mengungkap gagapnya pemerintah pusat menghandle bencana. Bahkan Presiden pun telat mendapat laporan detil terkait situasi di lapangan. Di tengah jerit tangis korban, di situ pula berseliweran drama-drama konyol berbau pencitraan.

Dan drama paling ‘menjijikkan’ adalah ketika seorang Menko yang dulu Menteri Kehutanan memanggul sekarung beras bantuan kepada korban bencana. Kemudian dia turut menyekop lumpur dua tiga kali kemudian selesai saat kamera berhenti merekam. Banyak sekali yang mengambil momentum bencana ini untuk menaikkan pencitraan dengan drama.

Padahal di saat yang bersamaan warga yang jadi korban, para kepala daerah berusaha semaksimalnya memberi bantuan dan mengevakuasi daerah terisolir. Kita lihat beberapa kepala daerah yang terus update ke media untuk menjelaskan kondisi daerahnya. Buya Mahyeldi, gubernur Sumatera Barat misalnya turun langsung ke pelosok mendatangi warga, mengerahkan excavator memberi bantuan. Begitupula kepala daerah dan bupati di Sumut. Bupati Tapanuli Selatan Gus Irawan Pasaribu, pagi, siang, malam handphone nya 24 jam online sambil menyisir daerah-daerah terisolir.

Dari statement-nya pula muncul kecaman keras terhadap para penebang liar di Tapsel yang dianggapnya sebagai salah satu penyebab banjir kayu gelondongan berdiameter besar sampai dia mengungkap 7 nama ‘penguasa’ hutan di daerah itu. Begitupula dari Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu mengakomodir bantuan serta membuka akses jalan yang tak bisa dilalui sekaligus mencoba menyalurkan bantuan ke semua titik.

Bahkan konon Walikota Sibolga sampai dua hari kehilangan kontak pasca banjir besar karena ternyata dia berjalan kaki menerobos hutan agar bisa kembali ke daerahnya. Para kepala daerah ini bekerja keras memulihkan lokasi dan korban.

Dari Aceh, Gubernur Muzakir Manaf yang biasa disapa Mualem, saban hari berkeliling dan menerobos lokasi demi membuka akses. Bahkan hingga Senin (8/12/2025), masih ada daerahnya yang belum bisa diterobos. Mualem menegaskan upaya menolong rakyat prioritas utama kecuali hanya karena mati. Hal itu disampaikannya mengingat beberapa bupati menyerah mengatasi banjir tersebut. Bahkan satu bupati-nya pergi umrah saat bencana melanda.

Apresiasi kita setinggi-tingginya kepada para kepala daerah yang sudah komit menolong warga dan inilah pembuktian mereka untuk diuji apakah memang loyal kepada rakyat sesuai janji kampanye atau meninggalkan warganya di saat bencana. Eksistensi mereka tentu ada kurang lebih. Pasti ada, tidak mungkin sempurna. Tapi rakyat akan menilai sendiri seperti apa kinerja mereka menangani bencana.

Saya tidak menyinggung kinerja kepala daerah yang lain di tulisan ini karena ada juga secara subyektif hanya pencitraan. Tapi kita makin tahu bahwa bencana ini pun turut dijadikan para politisi serta sebagian kepala daerah sebagai bahan drama untuk pencitraan.

Bertolak belakang dengan public figur yang dalam waktu singkat bisa menghimpun Rp10 miliar dalam hitungan jam kemudian menghantar bantuan lewat udara dan turun langsung menyerahkan ke masyarakat. Di sisi lain, ada pula kepala daerah yang melempar bantuan dari helikopter sehingga saat mendarat di tanah hancur berantakan. Ada-ada saja.

Bagaimana dengan Medan? Nanti akan saya buat dalam satu tulisan tersendiri. Tapi bencana banjir besar di Medan yang terjadi 27-29 November 2025 dengan intensitas hujan yang sangat tinggi pun menimbulkan tanya. Bagaimana efektivitas pemasangan U-Ditch di Medan yang menggali hampir semua ruas jalan tapi Medan hampir tenggelam dan kemana pula Walikota Medan Rico Triputra Bayu Waas saat banjir terjadi? Coba dulu waktu kampanye, rajin senam di Lapangan Merdeka, mendatangi warga, dan setelah menjabat sidak ke kelurahan-kelurahan dengan segala pencitraannya.

Ketika semua kepala daerah di kabupaten lain berpayung, berjas hujan, menerobos longsor, mengevakuasi korban di daerahnya masing-masing namun kontras dengan Medan pada 27 November 2025 malam yang mencekam oleh air bah. Titik-titik lokasi banjir yang sampai seatap rumah lebih dibiarkan menunggu surut. Warga membantu warga. Mereka struggling (berjuang) sendiri karena minimnya bantuan evakuasi.

Setelah Medan seperti kehilangan walikota dan wakil walikota-nya saat banjir besar, muncul pula drama baru soal dana Rp1,5 triliun untuk penanggulangan banjir. Drama lagi. Tapi memang tak wajar kita menuntut Walikota Rico Waas menyelesaikan problem banjir ini karena seingat saya waktu kampanye pun dia tak menjanjikan untuk menyelesaikan banjir. Mari tunggu tulisan berikutnya terkait kondisi banjir dan layanan publik di Medan setelah walikota kita bertugas dari Maret lalu.