MEDAN, kaldera.id – Pembayaran lunas pembangunan drainase di tiga lokasi sebelum pengerjaan tuntas disebut melanggar aturan dan jadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Ini sudah kelewatan. Harusnya didenda bukan dibayar lunas. Ini bakal jadi temuan. Kita tunggu saja audit BPK. Mereka sudah canggih. Jadi, bakal ketahuan,” kata Anggota Komisi 4 DPRD Medan, Renville P Napitupulu, di Gedung Dewan, Selasa (14/1/2020).

Dia mengatakan, biasanya proyek dikerjakan akhir tahun asal jadi. Sebab, waktu penyelesaian sangat dekat.

“Dibayar lunas sebelum selesai akibat ada konglingkong antara pemilik dengan pengerja proyek. Ini jelas melanggar hukum. Kualitasnya juga perlu dipertanyakan. Asal siap. Dibayar dan dibilang serapan anggaran besar,” tegas Renville saat ditemui kaldera.id.

Dia menjelaskan, selain karena dikerjakan akhir tahun, proyek drainase tersebut diduga sudah ditentukan pemenangnya sejak awal. Proses giring tersebut tentunya terjadi setelah adanya dugaan kesepakatan dibangun.

“Apabila tidak ada kesepakatan, tentunya bagian PHO atau pengawas proyek melaporkan pengerjaan tersebut belum tuntas. Pembayaran pun berdasarkan volume pengerjaan,” tegasnya.

Politisi PSI ini juga mencotohkan salah satu proyek yang dikerjakan asal jadi, yakni Jalan Wahid Hasyim. Tanah kerukan dibiarkan, lobang kontrol air asal dibuat, lobang inlet minim dengan panjang jalan kurang lenih 1.500 meter. Parahnya, setelah dilaporkan baru diperbaiki instansi tersebut. Padahal pengerjaanya sudah dianggap selesai dan pembayarannya dibayar lunas.

“Sistem pembuangannya tidak jelas. Bagaimana air masuk ke drainase kalau lobang inletnya minim. Air tergenang di jalan. Percuma saja diperbaiki drainasenya,” tambahnya.

Diketahui, pengerjaan rehabilitasi drainase di tiga lokasi yang pembayarannya lunas sebelum tuntas yakni, Jalan Multatuli Kecamatan Medan Maimoon, Jalan Gedung Arca, Kecamatan Medan Kota dan Jalan Selamat, Kecamatan Medan Amplas. (reza sahab)