MEDAN, kaldera.id – Pemberian sanksi push up bagi mereka yang tidak mengenakan masker dinilai mengada-ngada. Sebab, hal tersebut berkaitan dengan fisik seseorang.
Selain itu, pemberian sanksi fisik tidak diatur dalam Perwal No11/2020 tentang karantina kesehatan percepatan penanganan Covid-19 Kota Medan.
Dalam perwal tersebut, penindakan hukum diberikan bagi mereka tidak menggunakan masker, lisan, teguran, penahanan identitas diri, tidak diperpanjang izin, dan mencabut izin. Tidak ada diatur sanksi fisik.
“Tidak semua sanksi yang diatur itu harus dilaksanakan. Sebab, itu bukan paku mati. Seperti, sanksi fisik itu. Sudah tidak diatur dalam perwal, dilaksanakan pula,” ungkap Pengamat Sosial Sumut, Arifin Saleh Siregar kepada kaldera.id, Rabu (6/5/2020).
Arifin menjelaskan, sanksi push up tersebut diberikan cukup berbahaya. Sebab, menyangkut kemampuan seseorang. Walaupun dilakukan seberapa mampu.
“Sudah puasa. Lemas. Disuruh push up. Tentunya kan bahaya bagi seseorang. Bagaimana kalau terjadi hal -hal yang tidak diinginkan. Tidak semua orang bisa melakukan itu,” jelasnya.
Tidak hanya pemberian sanksi fisik saja, pengajar di Fisip UMSU ini juga menyoroti adanya pemberian sanksi penahanan e-KTP selama tiga hari ke depan dan diambil di Markas Satpol PP Medan Jalan Arief, Medan.
Sanksi tersebut dianggap tidak sesuai himbauan disampaikan. Di satu sisi pemerintah menghimbau stay at home. Di satu sisi harus keluar rumah menjemput KTP.
“Inikan aneh. Di satu sisi disuruh diam di rumah. Satu sisi di suruh keluar rumah. Kecuali KTP nya diantar pakai ojek online. Bisa membantu ojek online juga. Bukan harus keluar rumah, menambah biaya pengeluaran. Sudah susah makin susah,” tegasnya.
Tidak hanya itu, penjemputan KTP tersebut juga bisa melanggar himbauan menjaga jarak. Sebab, bukan tidak mungkin ketika menjemput terjadi kerumunan karena ramainya warga yang KTP nya ditahan.
“Jadi, cukup buat pernyataan saja tidak mengulangi kesalahannya. Kedua, tidak semua tindakan itu diberlakukan,” tambahnya. (reza sahab)