MEDAN, kaldera.id- Plt Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Herawati mengatakan akan mengembangkan mulitibisnis Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menuju era new normal yang akan segera diberlakukan pada 1 Juli 2020 di Sumatera Utara (Sumut). Ia juga meminta Kepala KPH untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengelola hutan.
Demikian disampaikan Herawati saat menjadi pembicara di Forestry Webinar Series (FWS) 01 yang dilaksanakan oleh Program Studi (Prodi) Magister Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU) bekerjasama dengan Pusat Kajian Lanskap Sumatera (Puska Lanskap) dan Himpunan Mahasiswa Magister Kehutanan (HIMAGISHUT) USU Sabtu (27/6/2020) dengan tema “Strategi Membangun KPH dalam masa New Normal Kehutanan”.
Herawati menyebut, dengan luas kawasan hutan 3.001.772 hektar atau 41,9 persen dari daratan Sumut, potensi dari sektor kehutanan diharapkan dapat lebih bermanfaat kepada masyarakat.
Menurutnya, hal ini sesuai dengan misi Gubernur Sumut dalam mewujudkan Sumut yang bermartabat dalam lingkungan karena ekologinya yang terjaga, alamnya yang bersih dan indah, penduduknya yang ramah dan berbudaya, berperikemanusiaan dan beradab.
“Maka pengelolaan hutan secara lestari harus dilakukan agar hasil hutan dapat produktif berbasis partisipasi masyarakat dan melibatkan semua pemangku kepentingan,” ujarnya.
Diharapkan, kata Herawati, pada 2023 sektor kehutanan dapat menyumbang PDRB Sumut pada nilai 0,85 %. Disamping itu, pada tahun 2021 penurunan luas kawasan dapat ditekan pada angka 1000 hektar.
Lebih lanjut, Herawati juga mengingatkan agar semua KKPH menjalankan program KPH selama masa new normal dengan tetap disiplin mematuhi protokol kesehatan. Diakatakannya, saat ini di Sumut terdapat 16 KPH yang ditetapkan sesuai dengan Peraturan Gubernur Sumut No. 38 Tahun 2016.
Sementara itu, mengacu kepada RPHJP yang sudah disahkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, para KKPH ditantang untuk mampu mengelola kawasan KPH nya secara lestari, baik pada aspek ekologi maupun ekonominya.
Terkait dengan hal ini, Dinas Kehutanan Provinsi memiliki beberapa strategi, antara lain adalah penguatan kapasitas SDM dan kerjasama multipihak. Selain itu, Herawati menyebut akan melakukan diskusi khusus dengan Fakultas Kehutanan USU terkait dengan penguatan strategi pengembangan multibisnis kehutanan pada areal KPH di Sumut.
*Prodi Magister Kehutanan USU Tawarkan Bambu untuk Komoditi Bisnis*
Program Studi Magister Kehutanan USU menawarkan bambu sebagai salah satu komoditi bisnisnya untuk mendukung pengelolaan kawasan hutan secara lestari, baik pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial.
Menurut mereka, pemanfaatan bambu yang masih dilakukan secara sederhana oleh masyarakat, misalnya untuk pembuatan barang kebutuhan sehari-hari seperti tangga dan dinding rumah. Padahal bila ditelisik lebih dalam, bambu memiliki potensi ekonomi dan sekaligus potensi ekologi dan sosial cukup besar yang banyak pihak belum memberikan perhatian besar untuk mengelolanya secara apik dan profesional.
Lebih lanjut, Desi Ekawati selaku pakar bambu dari Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI yang juga menjadi narasumber di dalam FWS 01 tersebut menjelaskan bahwa bambu memiliki potensi ekologi, ekonomi, dan sosial yang cukup besar.
Secara ekologi, bambu mampu menyerap karbon dioksida sebesar 50 ton/hektar/tahun dan rumpun bambu mampu menyimpan air sebanyak 5.000 liter. Semua bagian dari tanaman bambu juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan berbagai bentuk barang yang bernilai ekonomi.
“Akar dan pelepahnya bisa dijadikan kerajinan, rebungnya untuk sayuran, pangkalnya untuk arang, batang tengah bagian bawah untuk rekaya bambu dan furniture laminasi juga untuk lantai dan dinding, batang tengah bagian atas untuk tirai, anyaman dan kerajinan, batang bagian atas untuk ajir tanaman, rantingnya untuk sapu & serat pakaian, dan daunnya kompos, pakan dan pewarna,” jelas Desi.
Secara sosial, lanjutnya, bambu sudah lama dipergunakan oleh masyarakat untuk bahan bangunan rumah tempat tinggalnya. Selain itu, tanaman bambu sudah lama dijadikan sebagai tanaman pembatas antar kampung pemukiman warga desa. Dengan demikian tidak berlebihan jika dinyatakan bambu dapat menjadi kunci dalam restorasi lahan dan restorasi ekonomi di Indonesia. (finta rahyuni)