MEDAN, kaldera.id – Fenomena kasus , Jonathan (10) bocah silver yang tewas usai tertabrak truk menyiratkan adanya satu persoalan dalam penanganan perlindungan anak di Kota Medan.
Ketua Forum Koordinasi Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (FK PUSPA) Kota Medan, Muhammad Jailani, menilai fenomena ini harus segera dibenahi secara komprehensif dan menggunakan pendekatan berbasis hak anak.
Menurutnya, merebaknya modus anak-anak silver ini dapat dilihat dari dua faktor, pertama faktor penekan, dan kedua faktor penarik. Dikatakannya, faktor penekan utama selalu disebutkan karena masalah ekonomi, sehingga masyarakat mau melakukan pekerjaan apapun agar dapat bertahan hidup.
“Konteks kebutuhan ini berkembang dinamis bukan saja lagi kebutuhan sandang pangan, namun bergerak pada aktualisasi, dan komunikasi pada ruang publik lebih luas seperti bermain, internet dan gadget. Maka ketika ruang bermain tidak ada lagi di sekitar rumah anak, maka jalan menjadi ruang bermain alternatif bagi mereka,” ujarnya, Selasa (8/9/2020).
Selanjutnya, faktor pendorong. Faktor ini menurutnya, dikarenakan adanya peluang strategi baru untuk mendapatkan uang lebih di jalanan. Fenomena ini pun diakuinya mengimitasi strategi di Eropa.
“Pada awal 90 an sampai awal tahun 2000 an hanya bisa meminta minta dengan ‘mutung’, mengamen, berjualan asongan dan koran, maka mengimitasi strategi berada dijalan di Eropa turun ke Jakarta, dilakukan dengan menjadi bocah silver dan juga menjadi badut,” tambahnya.
Fenomena Manusia Silver Menyiratkan Persoalan
Terlepas dari perubahan pola tersebut, ia menilai, ada beberapa hak-hak yang seharusnya dinikmati oleh anak-anak itu. Situasi ini jelas merupakan kegagalan dalam pemenuhan dan perlindungan hak anak yang seharusnya dilakukan oleh negara.
Diantaranya, hak untuk bermain; hak mendapatkan pendidikan, kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang; hak untuk beristirahat; hak untuk mendapatkan
standar kesehatan paling tinggi serta hak untuk mendapatkan perlindungan dari
eksploitasi sebagai pekerja anak. Menurutnya, hal ini pun harus menjadi tanggungjawab pemerintah setempat.
“Anak bekerja di tempat yang berisiko baik itu risiko fisik, psikis, maupun berdampak pada seksual dan ekonomi. Karena tidak tahu apakah ada yang mengorganisir dibalik semua ini,” tegasnya. (finta rahyuni)