MEDAN, kaldera.id – DPR RI asal Sumatera Utara Gus Irawan Pasaribu yang juga bertugas di Komisi XI DPR RI berteriak keras soal rencana pemerintah mengenakan pajak bahan pangan yang besarannya untuk tarif umum 12 persen.
“Ini harus ditolak. Dibatalkan. Kebijakan ini tidak pas pada kondisi sekarang dan ke depan,” kata Ketua DPD Gerindra Sumut itu melalui sambungan telefon kepada wartawan di Medan, Minggu (13/06/2021). Berdasarkan draft dari pemerintah memang akan ditentukan opsi pertimbangan pemungutan pajak pada bahan pokok diantaranya beras, gabah, jagung, sagu, garam, gula, susu, kedelai, telur, sayur dan buah-buahan.
“Bagi saya ini aneh dan kebijakan yang ambivalen. Tidak pas dan akan membebani rakyat,” tuturnya. Kebijakan ambivalen itu menurutnya bisa dibandingkan dengan keringanan pajak pada industri otomotif untuk pembelian mobil baru dengan membebaskan pajak PPn BM.
“Bagi saya pembebasan PPn BM itu pun tidak tepat. Pandangan saya dulu pembebasan PPn BM otomotif ini untuk kendaraan niaga dengan kegiatan produktif. Nyatanya orang yang sudah punya mobil tua mengganti mobilnya karena ada kesempatan bebas PPn BM. Ujungnya malah terjebak di konsumtif,” kata Gus Irawan Pasaribu.
“Jadi di pembelian kendaraan dibebaskan pajak hanya menyasar kelompok tertentu, masa iya untuk bahan pangan dikenakan pajak. Pasti akan berdampak luas dan memberatkan semua masyarakat,” ungkapnya.
“Kami di Komisi XI akan menolak rencana ini. Tidak ada alasan untuk mengenakannya kepada masyarakat luas. Memang tetap saja harus ada revisi kebijakan terutama di UU ketentuan umum perpajakan. Jadi harus dikaji ulang,” sambung Gus Irawan Pasaribu.
Dia mengatakan pada prinsipnya nanti anggota dewan diharapkannya tidak menyetujui rencana itu walaupun masih wacana. “Maka sekarang kita harus bereaksi. Apalagi kan semua sekarang banyak penolakan atas keinginan pemerintah tersebut,” tuturnya.
Menurutnya, kondisi keuangan pemerintah saat ini yang terus defisit anggaran memang harus dicari solusinya tapi tidak dengan memajaki bahan pangan. “Kita di Komisi XI tahu persis bahwa defisit anggaran pemerintah pun sudah dua kali dari ketentuan perundangan. Tapi ya tetap saja jika membebani rakyat kecil itu tak bisa dibiarkan,” sambungnya.
Jangan sampai kebijakan ini menciderai rakyat, karena masyarakat akan membanding-bandingkan. “Kebijakan pembebasan pembelian PPn BM kendaraan dan juga tax amnesty. Dulu pengusaha besar dapat kerinangan pajak. Lho sekarang rakyat yang harus memenuhi kebutuhan pangannya dikenai pajak. Dimana logikanya begini. Makanya saya bilang ambivalen,” tuturnya.