Site icon Kaldera.id

Daripada PPN Bahan Pangan Lebih Baik Kutip Pajak Fintech

Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sumut Gus Irawan Pasaribu

Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sumut Gus Irawan Pasaribu

MEDAN, kaldera.id- Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sumut Gus Irawan Pasaribu berpandangan pengenaan PPN bahan pangan yang draftnya sedang disusun pemerintah malah akan membebani petani. “Pedagang tetap akan memaksimalkan untung, nah petani malah nanti yang membayar PPN nya dengan memotong harga beli dari petani,” ungkapnya.

Hal itu disampaikan Gus Irawan Pasaribu, Minggu (13/06/2021) melalui sambungan telefon di Medan, menyikapi wacana pengenaan PPN atau pajak pertambahan nilai terhadap bahan pangan. “Saya kira itu malah akan merugikan petani. Apalagi nanti kalau PPN nya dikutip, langsung dibebankan ke mereka. Kan menyengsarakan petani ini namanya,” jelasnya.

Menurut dia, dengan situasi sekarang dimana kondisi keuangan pemerintah sedang menghadapi tekanan berat bukan pengenaan PPN bahan pangan solusinya. “Saya kira malah pemerintah harus menertibkan finctech atau pinjaman online ilegal yang kini marak. Peer to peer lending ini banyak bermasalah. Kemudian ilegal. Orang menginvestasikan uangnya lalu meminjamkan ke pihak lain, tapi tidak lewat jalur resmi. Harusnya yang bisa seperti ini perbankan. Atau koperasi,” tuturnya.

Sekarang pinjol (pinjaman online) yang sering juga disebut fintech marak menawarkan dana pijaman tapi dengan cara ilegal, harusnya ditertibkan dan kemudian setelah legal baru ditarik pajaknya. “Saya kira ini lebih terbuka peluangnya daripada menyasar bahan pangan,” kata Gus Irawan yang juga anggota DPR RI Komisi XI ini.

Menurut Gus Irawan, jika yang dikenakan pajak adalah bahan pangan itu langkah keliru. “Pemerintah sekarang sedang berupaya memulihkan perekonomian kemudian mengucurkan bantuan sosial. Tapi di sisi lain malah ingin menggali pajak dari mereka. Ini bagaimana alur logisnya,” kata dia.

Hal itulah yang membuat Gus Irawan menyarankan agar sebaiknya pemerintah mencari sumber penerimaan lain saja seperti dari transaksi online di fintech peer to peer lending ini. “Tertibkan semua transaksi online ini karena payung hukumnya belum jelas. Setelah itu baru kenakan pajaknya.”

Menertibkan 3.198 fintech lending ilegal

Menurut data Satgas Waspada Investasi (SWI) sejak 2018 hingga April 2021 mereka sudah menertibkan 3.198 fintech lending ilegal dengan modus penempatan dana dan peminjaman.

Begitupun, menurut mantan Dirut Bank Sumut ini, untuk mengatur langkah tersebut sebagi sumber penerimaan perlu dikaji perubahan atau revisi UU sehingga semua bisa menyelesaikan persoalan. “Ya seperti yang sudah saya sampaikan kondisi keuangan negara sedang berat. Lalu pemerintah berusaha membantu masyarakat dengan keterbatasan keuangan.”

“Yang kita tahu untuk menambah anggaran pemerintah yang sedang defisit dan digunakan untuk memulihkan perekonomian di masa covid-19 juga ditambal dari utang. Jadi jangan kita sebar bantuan untuk memulihkan kondisi namun di sisi lain pembelian semua bahan pokok ikut dikenakan pajak juga,” jelasnya.(armin nasution)

Exit mobile version