Site icon Kaldera.id

Bangun Model Tabayyun Digital dengan Pengendalian Algoritma, Fakhrur Rozi Raih Doktor di UIN Sumut

Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (FDK UIN Sumut) menggelar sidang terbuka Promosi Doktor Komunikasi dan Penyiaran Islam dengan promovendus atas nama Fakhrur Rozi.

Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (FDK UIN Sumut) menggelar sidang terbuka Promosi Doktor Komunikasi dan Penyiaran Islam dengan promovendus atas nama Fakhrur Rozi.

MEDAN, kaldera.id- Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (FDK UIN Sumut) menggelar sidang terbuka Promosi Doktor Komunikasi dan Penyiaran Islam dengan promovendus atas nama Fakhrur Rozi.

Penelitian disertasi ini berjudul “Penggunaan Media Sosial Konten Islami, Presentasi Algoritma dan Tabayyun Digital pada Muslim Milenial di Kota Medan”, dengan Promotor Prof. Dr. Syukur Kholil, MA dan Kopromotor Dr. Hasan Sazali, MA.

Rozi menjalani sidang terbuka secara daring/luring (hybrid) pada Rabu (1/9/2021), dan berhasil dinyatakan lulus dengan predikat “Terpuji” dengan nilai 93 dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,78.

Penguji dalam sidang ini adalah Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si (Universitas Sumatera Utara/Wakil Ketua Umum PP ASPIKOM), Dr. Rubino, MA dan Dr. Ahmad Tamrin Sikumbang, MA. Sidang ini diketuai langsung oleh Rektor UIN Sumut, Prof Dr Syahrin Harahap, MA.

Dalam promosi doktornya, Rozi memaparkan tujuan disertasi merupakan untuk mengetahui bagaimana penggunaan media sosial konten islami pada muslim milenial Kota Medan, presentasi algoritma media sosial konten islami muslim milenial dan bagaimana model tabayyun digital konten islami muslim milenial Kota Medan.

“YouTube dan Instagram, saat ini dipenuhi dengan konten islami yang dibuat oleh tokoh, organisasi, maupun orang perorang pemilik akun media sosial. Konten Islami memenuhi ruang publik muslim Indonesia yang terhubung dengan internet. Konten media sosial Islami dicari pengguna dengan beragam motif dan kebutuhan untuk pemenuhan kepuasan mereka,” sebut Rozi.

Dijelaskannya, media sosial dengan jutaan akun/channel dan algoritma yang membentuk filter bubble yang menunjukkan homogenitas informasi (ruang gema/echo chamber), memiliki kontribusi signifikan dalam membentuk resepsi pengguna. Sebab, seseorang menerima informasi, ide, dan gagasan sejenis secara terus-menerus. Karena itu, setiap muslim perlu melakukan proses Tabayyun dalam menerima informasi Keislaman di YouTube dan Instagram.

YouTube dan Instagram konten islami cukup masif dan intens di kalangan muslim milenial

Rozi, yang juga dosen Ilmu Komunikasi di FIS UIN Sumut ini, menemukan penggunaan YouTube dan Instagram konten islami cukup masif dan intens di kalangan muslim milenial.

Aksesibilitas teknologi yang mudah, mengikuti channel dan akun yang beragam, serta menyenangi ustaz/ulama yang memproduksi konten di media sosial, menjadikan muslim milenial merasa ingin memuaskan aspek religiusitasnya dengan mengonsumsi konten islami dari YouTube dan Instagram.

Selain itu, lanjutnya, muslim milenial juga menyebutnya sebagai upaya belajar Islam untuk menjadi sosok yang lebih baik (berhijrah).

“Kemudian hal itu berkembang menjadi aktivitas dakwah baik dari pribadi maupun kelompok, mendorong gerakan sosial dan membentuk identitas muslim milenial. Meskipun diakui, pemahaman terhadap teknologi platform YouTube dan Instagram sangat terbatas,” jelasnya alumni STIKP Medan dan MIKOM Fisip USU ini.

Di sisi lain, sebut Rozi, interaksi, durasi dan frekuensi penggunaan, relasi pertemanan dari muslim milenial di media sosial mendorong algoritma bekerja sesuai dengan minat dan relevansi dari pengguna.

Hal itu, menurutnya, terlihat dari muslim milenial Kota Medan yang mengakui ada konten islami dari channel/akun yang tidak mereka ikuti (unfollow/unsubscribe), yang muncul di lini masa akun/channel mereka. Pada akhirnya, konten islami yang masuk ke muslim milenial cukup besar dalam bentuk filter bubble dan menyebabkan ruang gema (echo chamber), informasi yang itu-itu saja.

“Hal ini dapat dipahami karena memang sifat teknologi persuasif, user centred design, yang dapat menstimulasi dopamin (rasa bahagia) saat terus menggunakan media sosial. Tapi secara sadar atau tidak, hal itu dapat memunculkan bias kognitif dari muslim milenial terhadap konten islami. Algoritma media sosial punya peran signifikan dalam penanaman terhadap konten islami yang memapar muslim milenial,” kata suami dari Nana Miranti.

Islam dalam ajarannya, telah memberikan panduan atas penerimaan informasi dengan konsep tabayyun. Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat Fatwa MUI No 24/2017 serta Fikih Informasi Muhammadiyah sudah memberikan panduan soal bermuamalah di media sosial dan beraktivitas di media sosial. Sayangnya, muslim milenial kurang mengetahuinya.

Mengacu pada Alquran, Surah Al Hujurat ayat 6, bahwa wajib hukumnya melakukan tabayyun jika berita disampaikan oleh orang fasik. Jikapun pembawa berita tersebut adalah orang adil maka dianjurkan untuk bertabayyun sebagai kehati-hatian (li al-ikhtiyath) sebab boleh jadi berita disampaikan dengan jujur tetapi dia mendapatkan berita dari orang lain yang belum tentu kebenarannya ataupun boleh jadi dia lupa.

“Konsep ini sudah dilakukan oleh muslim milenial Kota Medan, dengan beberapa handicap (rintangan), salah satunya pembuat konten islami kurang menanggapi upaya tabayyun dari pengguna yang dilakukan lewat kolom komentar ataupun pesan langsung (Direct Message). Kemudian faktor teknologi media sosial dan algoritmanya belum mendapatkan penanganan yang tepat. Karena itu, ditawarkan sebuah Model Tabayyun Digital,” beber ayah dua anak ini.

Model Tabayyun Digital konten Islami ini dilakukan secara komprehensif tidak saja melakukan klarifikasi lewat jalur digital, tapi juga secara non-digital, bertanya pada ustadz secara langsung dan membaca Al Quran dan Al Hadits, mengenali teknologi media sosial, dan mengendalikan algoritma media sosial yang digunakan.

“Model Tabayyun Digital perlu dilakukan sebagai upaya memastikan motif (kepercayaan) dan harapan (evaluasi) untuk kepuasan yang diinginkan dan kepuasan yang diperoleh pengguna media sosial konten Islami, bukan hasil manipulasi dari algoritma,” lanjutnya.

Harapannya, masyarakat dapat memahami media sosial konten islami sebagai entitas ruang publik virtual memiliki teknis algoritma tertentu yang berpotensi menimbulkan bias pengetahuan dan pemahaman tentang Islam.

Menurut anak dari pasangan Ibnu Hajar Arbi (alm) dan Syafridayani ini, pemerintah dapat memperkuat budaya literasi melalui kampanye Tabayyun digital di masyarakat, peneliti juga mendorong para ulama, tokoh yang membuat konten islami di media sosial perlu menyediakan waktu untuk melayani Tabayyun digital pengguna konten islami yang disampaikan di kolom komentar ataupun kolom pesan langsung (direct message).

Sementara itu, Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si selaku penguji dari Universitas Sumatera Utara mengatakan, analisis kualitatif yang disajikan oleh promovendus dalam disertasinya sudah sangat tepat. Hal itu sudah bisa menggambarkan permasalah yang terjadi di dalam masyarakat terkait proses Tabayyun dalam penggunaan media sosial konten islami pada muslim milenial.

Ia juga menyebutkan bahwa judul disertasi yang diambil oleh promovendus merupakan isu aktual yang banyak dialami oleh muslim
milenial, termasuk di Kota Medan.

“Saya melihat memang persoalan ini lebih tepat secara kualitatif supaya lebih dalam terkait realitas dalam masyarakat itu, karena fenomena yang dipilih ini adalah masalah yang sangat aktual dan memberikan banyak kebermanfaatan bagi kita. Jadi lakukan lah kerjaan apapun, tidak hanya dalam konteks media sosial, kita harus selalu melakukan Tabayyun. Jadi Tabayyun itu penting sekali , membuat kita waspada dalam seluruh aspek kehidupan,” ujarnya.(finta rahyuni)

Exit mobile version