MEDAN, kaldera.id —Tepat 5 September 2021, Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah (Ijeck) sudah tiga tahun memimpin Provinsi Sumatera Utara. Sejumlah Guru Besar dan akademisi menyampaikan berbagai catatan atas kinerja pasangan berakronim Eramas saat Pilgubsu 2018 itu.
Implementasi kebijakan Edy-Ijeck dalam aspek ekonomi, misalnya, sejatinya terhalang dampak pandemi Covid-19. Begitupun, handicap yang ada berusaha dieliminir Edy-Ijeck melalui pemberian bantuan dalam program jaring pengaman sosial (JPS) kepada pelaku UMKM.
“Kebijakan (APBD) yang di-refocusing tetap dilakukan untuk penguatan ekonomi. Jika di 2020 JPS ke berbagai lapisan atau kelompok masyarakat digelontorkan, di 2021 ini Pemprovsu terlihat lebih banyak memberikan kail dan umpan, ketimbang ikan,” kata Prof Ritha Dalimunthe pada Diskusi Panel Ahli Kaleidoskop 3 Tahun Provinsi Sumut Dalam Kepemimpinan Edy-Ijeck, di Medan Club Jalan RA. Kartini, Medan, Sabtu (4/9/2021).
Catatan Ritha, laju pertumbuhan ekonomi Sumut pada triwulan II/2021 terkini sudah menunjukan adanya pemulihan, meski belum dapat kembali ke pertumbuhan awal sebelum pandemi, yang rerata dapat mencapai 5,3% per triwulan.
“Semua komponen telah mencatatkan pertumbuhan positif, baik dari sisi pengeluaran maupun sektoral. Namun pemulihan sektor transportasi relatif terbatas mengingat masih terbatasnya mobilitas masyarakat, dan berbagai kebijakan PPKM yang diterapkan,” katanya.
Potensi kenaikan harga pangan dampak pandemi, lanjutnya, berdasarkan tracking perkembangan inflasi Sumut, masih dalam tahap wajar. Bahwa harga pangan strategis pada 9 Agustus 2021 masih diwarnai dengan penurunan harga aneka cabai, dampak perpanjangan PPKM Level 4 di Kota Medan.
“Stabilitas harga itu juga diperkuat dengan hasil survey aliran pasokan Bank Indonesia yang menunjukan aliran pasokan pedagang besar di Medan masih relatif stabil, serta kecukupan stok di gudang Bulog untuk komoditas beras, minyak goreng dan gula pasir,” katanya.
Ia menyarankan, kebijakan lanjut penanganan dampak ekonomi agar berfokus pada tiga akselerasi ekonomi. Yaitu alokasi anggaran untuk industri padat karya, penguatan sektor riil dan UMKM, dan penguatan ketahanan pangan.
“Refocusing APBD untuk industri padat karya yang memberikan multiplier effect yang besar terhadap perekonomian, terutama pada penyerapan tenaga kerja. Untuk sektor riil dan UMKM, dengan memberikan insentif fiskal guna mempercepat pemulihan sektor riil dan UMKM yang terdampak, upgrading skill pelaku UMKM, mendorong shifting usaha yang sesuai dengan preferensi konsumen pada masa adaptasi kebiasaan baru, serta mendorong digitalisasi proses bisnis sektor riil dan UMKM itu sendiri,” urainya.
Adapun prospek dan tantangan Edy-Ijeck dua tahun ke depan, hemat dia, yakni pemanfaatan dan optimalisasi potensi daerah, serta analisis sektor yang tidak relevan terhadap postur ekonomi Sumut. Karenanya, ia menekankan, penguatan sektor riil mesti menjadi prioritas agar laju pertumbuhan ekonomi Sumut dapat on the track.
“Stabilisasi sektor riil dalam upaya pemulihan ekonomi khususnya di pertanian, pariwisata, dan UKM. Regulasi sebagai bagian dari komitmen dan tanggungjawab pertumbuhan sektor rill di kabupaten/kota. Penguatan mekanisme realisasi terhadap belanja daerah sehingga ekonomi masyarakat menjadi lebih stabil. Membangun suasana kondusif dan mengeliminasi pengaruh buruk dari luar, serta monitoring dan evaluasi terhadap percepatan belanja daerah,” terangnya.
Selain Ritha, diskusi yang diinisiasi FISIP USU itu, menghadirkan panelis seperti Heru Santosa, Abdul Rauf, Hamdani Harahap, dan Heri Kusmanto. Sebagai audiens, hadir di antaranya sejumlah akademisi di Sumut, Dewan Riset Daerah (DRD) Sumut seperti R Sabrina dan Budi Sinulingga.(rel/finta rahyuni)