MEDAN, kaldera.id- Anggota Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu menyoroti rendahnya Tax Ratio Indonesia pasca 10 tahun reformasi perpajakan. Menurutnya, berdasarkan data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) per 2020, Tax Ratio Indonesia berada di angka 10,1 persen, hanya lebih baik dari Bhutan dan Laos. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata negara OECD, yaitu 33,5 persen.
“Jadi yang menjadi PR besar kita bahwa sampai saat ini sudah 10 tahun lebih reformasi perpajakan dilakukan itu adalah masalah Tax Ratio kita,” ujar Gus Irawan Pasaribu, Rabu (3/08/2022).
Meskipun demikian, tambahnya, jika dilihat lebih jauh, rendahnya tax ratio ini tidak berbanding lurus dengan tren peningkatan PDB per kapita Indonesia. “Kalau kita lihat PDB per kapita kita itu naik. Jadi di mana sebetulnya letak utama gap ini. Ini yang sebenarnya menjadi PR besar kita,” kata Gus Irawan Pasaribu.
Politisi Gerindra itu menilai gap terjadi, salah satunya, karena tingkat pekerjaan informal yang tinggi. Di mana 56 persen ekonomi Indonesia disumbang dari UMKM atau berasal dari 56,4 juta penduduk Indonesia yang belum terdata dengan baik dalam sistem perpajakan.
“Nah ini yang kita sudah usahakan, agar gap ini kita tutup melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sudah disahkan. Di antaranya bahwa semua kita masukkan ke dalam sistem seperti yang selama ini ada di PPN. Walaupun dalam PPN juga ada fasilitas nol persen sebagai sebuah pengecualian,” ujar Gus Irawan Pasaribu.
Diketahui, tax ratio adalah cara untuk mengukur kondisi perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Melalui tax ratio, akan tergambar seberapa besar pajak yang dapat dihimpun pemerintah dari kegiatan ekonomi yang terjadi di negaranya.
Tax ratio yang menggunakan rekomendasi dari OECD dimaknai sebagai semua penerimaan yang dibayarkan warga negara kepada negaranya, sehingga turut mencakup Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari sektor Sumber Daya Alam (SDA) dan pajak daerah. (rel/arn)