Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajati Sumut) Idianto, SH,MH yang diwakili Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan,SH,MH menjadi narasumber pada acara dialog di Lembaga Penyiaran Publik TVRI Sumut, Senin (20/2/2023).
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajati Sumut) Idianto, SH,MH yang diwakili Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan,SH,MH menjadi narasumber pada acara dialog di Lembaga Penyiaran Publik TVRI Sumut, Senin (20/2/2023).

 

MEDAN, kaldera.id – Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajati Sumut) Idianto, SH,MH yang diwakili Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan,SH,MH menjadi narasumber pada acara dialog di Lembaga Penyiaran Publik TVRI Sumut, Senin (20/2/2023).

Dialog singkat pada segmen berita Lintas Sumut, Yos A Tarigan menyampaikan beberapa hal terkait penghentian penuntutan dengan menerapkan keadilan restoratif (restorative justice-RJ) berdasarkan Peraturan Jaksa Agung/Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

“Penerapan RJ untuk menyelesaikan perkara tindak pidana ringan (Tipiring) tanpa ke meja hijau. Definisi keadilan Restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Tidak semua perkara pidana dapat diselesaikan dengan menerapkan RJ,” kata Yos A Tarigan.

Alurnya, menurut Yos A Tarigan, penuntut umum memiliki kewenangan DOMINUS LITIS, yang artinya penuntut umum dapat menentukan apakah suatu perkara dapat diajukan ke pengadilan atau tidak.

Selanjutnya, kebijakan RJ ini adalah Legacy daripada pimpinan Kejaksaan RI dimana pendekatan keadilan restoratif yang dilaksanakan oleh Kejaksaan menyeimbangkan kepentingan pemulihan keadaan korban, dan juga memperbaiki diri pelaku yang hasilnya mampu mewujudkan keadilan, serta memperbaiki keadaan masing-masing pihak, sehingga sejalan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak lagi ditemukan penegakan hukum yang tidak berkemanfaatan dengan persyaratan yang telah ditentukan dalam Perja No.15 Tahun 2020.

Kalau mengacu pada Undang-Undang, lanjut Yos secara jelas dan terang disampaikan bahwa hanya Kejaksaan lah selaku lembaga negara yang memiliki kewenangan Dominus Litis, artinya bahwa hanya Jaksa-lah yang dapat menentukan suatu perkara pidana dapat diajukan ke pengadilan atau tidak.

“Terkait dengan nilai kerugian korban dan konsekuiensi perdamaian seluruhnya lahir dari kesepakatan pihak korban dan pelaku kejahatan, sehingga pembayaran kerugian yang dialami korban dimaksud tetap berdasarkan perdamaian dan kesepakatan para pihak yang menghendaki penuntutan perkaranya dihentikan dengan RJ,” tandasnya.

Lebih lanjut mantan Kasi Pidusus Kejari Deli Serdang ini menyampaikan bahwa persyaratan suatu perkara dapat dihentikan penuntutannya dengan pendekatan RJ antara lain pelaku bukanlah residivis, kerugian pihak korban dibawah Rp.2.500.000, antara korban dan pelaku secara bersama-sama merumuskan penyelesaian permasalahan guna dilakukannya pemulihan keadaan ke keadaan semula dan terciptanya harmoni di tengah-tengah masyarakat.

Yos A Tarigan menambahkan, bahwa setiap penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam Perja No. 15 Tahun 2020, akan membuka ruang yang sah menurut hukum bagi pelaku dan korban untuk secara bersama merumuskan penyelesaian permasalahan guna dilakukannya pemulihan keadaan ke keadaan semula dan terciptanya harmoni di tengah-tengah masyarakat.(putera/red)