Site icon Kaldera.id

Underpass Gatsu, Warga Masih Tolak Nilai Ganti Rugi Lahan

Suasana pertemuan pembesan lahan pembangunan underpass Jalan Gatot Subroto, Medan, Jumat(24/2/2023). Foto:kaldera/reza

Suasana pertemuan pembesan lahan pembangunan underpass Jalan Gatot Subroto, Medan, Jumat(24/2/2023). Foto:kaldera/reza

 

MEDAN, kaldera.id – Sebagian besar pemilik tanah dan bangunan terkena pembangunan underpass Jalan Gatot Subroto menolak ganti rugi yang ditawarkan Pemko Medan. Pasalnya, besaran harga yang diajukan sangat kecil.

Hal ini terungkap dalam pertemuan yang dihadiri warga pemilik lahan dan bangunan, perwakilan Balai Jalan Kementrian PUPR, Dinas Perumahan Kawasan Permukiman Cipta Karya dan Tata Ruang (PKPCKTR) Kota Medan, perwakilan Bank Mandiri dan pihak kecamatan di Aula Kantor Camat Medan Helvetia, Jumat (24/2/2023). Agenda pertemuan itu sendiri awalnya proses pembayaran bagi warga yang sudah setuju dengan harga yang sudah ditetapkan Pemko Medan berdasarkan perhitungan dilakukan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dan tertuang dalam draf SK Walikota Medan NoNo593/63.k.

Salah satu warga pemilik lahan yang terkena dampak pembangunan tersebut, Adji mengungkapkan, pihaknya tidak pernah menyatakan setuju dengan harga yang ditawarkan Pemko Medan. Mereka terkejut tiba – tiba diundang ke Kantor Camat Medan Helvetia untuk proses pembayaran.

Sebab, mereka menilai belum ada kecocokan terkait harga yang diberikan. ” Bangunan kami dihargai Rp1 juta permeter. Okelah lahan lami dihargai Rp10 juta per meter. Kami tidak paham bagaimana perhitungannya, kenapa cuma dihargai Rp1 juta permeter,” tegasnya.

Dia juga menduga KJPP melakukan kesalahan dengan tidak memasukan nilai solatium dalam menentukan harga ganti rugi. Padahal itu sudah ketentuan berlaku.

“Kami sangat mendukung pembangunan di Kota Medan tercinta ini. Kami sangat mendukung semua program Pak Wali. Tapi perhitungan juga harus dilakukan sesuai ketentuan. Jangan tiba -tiba sudah ada harga ditetapkan dan kami dipaksa menerimanya. Kami minta KJPP hitung ulang sesuai aturan,” tegasnya.

Dia juga menilai penghitungan yang dilakukan KJPP tidak mengukur secara langsung persil per persil. Hanya menghitung secara global dan memantau dari luar. Tidak ada memperhatikan secara ekonomi maupun dampak sosialnya. Sebab, lahan mereka tidak bisa lagi ditempati karena tersisa beberapa meter lagi. Mereka harus mencari rumah yang lain.

“Tolong hargai kami yang sudah menetap di kawasan itu selama 30 tahun. Jangan cuma pantau dari luar langsung tetapkan. Kami tidak pernah dijumpai secara langsung. Jangan kami diapksa untuk setuju. Kami menduga KJPP ini tidak paham aturan. Kenapa orang yang diduga tidak paham aturan disuruh menghitung ganti rugi,” jelasnya.

Sementara warga lainnya, Dedi Ketaren menambahkan, penetapan harga ganti rugi sendiri tidak memalui pembicaraan dengan warga pemilik lahan dan bangunan. Tiba -tiba warga dipaksa setuju. Tentunya hal ini merugikan mereka. Selain itu, ada perbedaan besaran harga lahan yang dibebaskan per meternya.

“Lahan saya hanya dihargai Rp9 juta per meter. Sedangkan yang lain ada Rp10 juta per meter. Jangan menetapkan begitu saja sebelum ada pembicaraan. Inikan sudah terkesan otoriter. Jangan karena deadline terus kami dipaksa setuju dengan yang ditawarkan. Kami mint ini ditinjau ulang lagi sampai ada kesepakatan dua belah pihak. Kita ini dari tanah kembali ke tanah dan jangan main main hidup di atas tanah,” ungkapnya.

Sementara itu, Kabid Penataan Ruang dan Pertanahan Dinas Perumahan Kawasan Permukiman Cipta Karya dan Tata Ruang (PKPCKTR) Kota Medan, Raja Dina mengungkapkan, bagi warga yang masih menolak dengan harga ganti rugi lahan dan bangunan untuk membuat pernyataan. Pihaknya juga akan melaporkan hal ini kepada kepala dinas dan juga Sekda Kota Medan selaku ketua pembebasan lahan tersebut. “Langkah selanjutnya kami lakukan adalah melaporkan hal ini kepada pimpinan. Dan tentunya akan menyurati KJPP untuk melakukan penghitungan ulang,” jelasnya.

Dia menmabahkan, untuk adanya perbedaan harga lahan yang diganti rugi per meternya, tentunya KJPP punya perhitungan sendiri berdasarkan ketentuan yang berlaku. “Mereka yang paham perhitungannya. Ada 43 persil lahan yang dibebaskan. Yang sudah setuju ada 10 orang. Yang menyampaikan tidak setuju ada 7 orang. Sedangkan lainnya kami tidak tahu. Karena tidak ada surat keberatan yang disampaikan. Ini juga yang membuat kami mengundang untuk melakukan proses pembayaran ganti rugi lahan. Kemungkinan Minggu depan kami layangkan surat untuk pertemuan kembali,” katanya.

Untuk kantor pemerintah atau BUMN yang terkena dampak pembangunan underpass tersebut seperti Kantor Imigrasi dan Telkom ganti ruginya berbeda. “Untuk Kantor Imigrasi mereka minta relokasi. Lokasinya tetap di tempat sekarang cuma pindah ke belakang. Sedangkan Telkom akan diraparkan lagi. Mereka minta dibangun kembali. Termasuk jaringan bawah tanah. Itu yang bingung. KJPP hanya menghitung bangunan yang di atas tanah. Sedangkan yang dibawah tanah mereka tidak bisa hitung,” pungkasnya.

Sekadar memberitahukan pembangunan underpass Jalan Gatot Subroto akan dimulai apabila proses pembebasan lahan sudah selesai dilakukan. Pembayaran ganti rugi dilakukan secara transfer melalui Bank Mandiri.(reza)

Exit mobile version