Kategori Orang Yang Wajib Bayar Fidyah Puasa Saat Ramadhan

Fidyah menurut syariat Islam merupakan denda yang wajib ditunaikan
Fidyah menurut syariat Islam merupakan denda yang wajib ditunaikan

 

MEDAN, kaldera.id – Fidyah menurut syariat Islam merupakan denda yang wajib ditunaikan. Hal ini dilakukan lantaran meninggalkan kewajiban saat bulan Ramadan.

Dilansir melalui website Badan Amil Zakat Nasional, Fidyah dibagi menjadi tiga bagian yaitu senilai satu mud, fidyah senilai dua mud, dan ketiga fidyah dengan menyembelih dam (hewan).

Adapun dalam pembagian fidyah ini memiliki kategori bagi orang-orang yang wajib untuk membayar fidyah puasa, di antaranya:

1. Orang Tua Renta

Kakek atau nenek tua renta yang tidak sanggup lagi menjalankan puasa, tidak terkena tuntutan berpuasa. Kewajibannya diganti dengan membayar fidyah satu mud makanan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.

Adapun batasan tidak mampu di sini adalah sekiranya dengan dipaksakan berpuasa menimbulkan kepayahan (masyaqqah).

Orang dalam jenis kategori ini juga tidak terkena tuntutan mengganti (qadha) puasa yang ditinggalkan.

2. Orang Sakit Parah

Orang sakit parah yang tidak ada harapan sembuh dan ia tidak sanggup berpuasa, tidak terkena tuntutan kewajiban puasa Ramadan. Sebagai gantinya, ia wajib membayar fidyah.

Seperti orang tua renta, batasan tidak mampu berpuasa bagi orang sakit parah adalah sekiranya mengalami kepayahan apabila ia berpuasa.

Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban puasa, baik ada’ (dalam bulan Ramadhan) maupun qadha’ (di luar Ramadhan).

Berbeda dengan orang sakit yang masih diharapkan sembuh, ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia diperbolehkan tidak berpuasa apabila mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib, juz 2, hal. 397).

3. Wanita Hamil atau Menyusui

Ibu hamil atau wanita yang tengah menyusui, diperbolehkan meninggalkan puasa bila ia mengalami kepayahan dengan berpuasa atau mengkhawatirkan keselamatan anak/janin yang dikandungnya.

Setelah itu, ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, baik karena khawatir keselamatan dirinya atau anaknya.

Mengenai kewajiban fidyah diperinci sebagai berikut:

Jika khawatir keselamatan dirinya atau dirinya beserta anak /janinnya, maka tidak ada kewajiban fidyah.
Jika hanya khawatir keselamatan anak/janinnya, maka wajib membayar fidyah. (lihat Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi, Fath al-Qarib Hamisy Qut al-Habib al-Gharib, hal. 223).

4. Orang Mati

Dalam fiqih Syafi’i, orang mati yang meninggalkan utang puasa dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Orang yang tidak wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai mati. Tidak ada kewajiban apa pun bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau puasa.

2. Orang yang wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengqadha puasa.

Menurut qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i), wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan fidyah untuk mayit sebesar satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Biaya pembayaran fidyah diambilkan dari harta peninggalan mayit.

Menurut pendapat ini, puasa tidak boleh dilakukan dalam rangka memenuhi tanggungan mayit. Sedangkan menurut qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i), wali/ahli waris boleh memilih di antara dua opsi, membayar fidyah atau berpuasa untuk mayit.

Qaul qadim dalam permasalahan ini lebih unggul daripada qaul jadid, bahkan lebih sering difatwakan ulama, sebab didukung oleh banyak ulama ahli tarjih.

Ketentuan di atas berlaku apabila tirkah (harta peninggalan mayit) mencukupi untuk membayar fidyah puasa mayit, bila tirkah tidak memenuhi atau mayit tidak meninggalkan harta sama sekali, maka tidak ada kewajiban apa pun bagi wali/ahli waris, baik berpuasa untuk mayit atau membayar fidyah, namun hukumnya sunah (Syekh Nawawi al-Bantani, Qut al-Habib al-Gharib, hal. 221-222).

5. Orang yang Mengakhirkan Qadha Ramadan
Orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadan padahal ia memungkinkan untuk segera mengqadha-sampai datang Ramadan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadha puasa Ramadan.

Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan mengqadha, semisal uzur sakit atau perjalanannya (safar) berlanjut hingga memasuki Ramadan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya, ia hanya diwajibkan mengqadha puasa.

Menurut pendapat al-Ashah, fidyah kategori ini menjadi berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun. Semisal orang punya tanggungan qadha puasa sehari di tahun 2018, ia tidak kunjung mengqadha sampai masuk Ramadhan tahun 2020, maka dengan berlalunya dua tahun (dua kali putaran Ramadhan), kewajiban fidyah berlipat ganda menjadi dua mud. (det)