Catatan terkait dengan pengelolaan utang negara, mulai dari besarnya SILPA setiap tahun, tingginya yield dibanding negara ASEAN, hingga kulminasi utang di masa depan.
Catatan terkait dengan pengelolaan utang negara, mulai dari besarnya SILPA setiap tahun, tingginya yield dibanding negara ASEAN, hingga kulminasi utang di masa depan.

 

MEDAN, kaldera.id- Komisi XI DPR RI menggelar rapat dengar pendapat dengan beberapa pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan RI dalam agenda pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran tahun 2024. Dalam rapat tersebut anggota Komisi XI DPR RI, Gus Irawan Pasaribu memberikan beberapa catatan terkait dengan pengelolaan utang negara, mulai dari besarnya SILPA setiap tahun, tingginya yield dibanding negara ASEAN, hingga kulminasi utang di masa depan.

“Saya ingin memberikan beberapa penekanan, karena bagaimanapun juga pagu indikatif ini kan kita buat, rencana kerja ini kita buat, untuk membuat Kementerian Keuangan terutama dirjen terkait dengan pembiayaan dan risiko ini supaya perform dalam mengelola utang kita. Salah satu tugasnya kan seperti itu,” tutur Gus Irawan Pasaribu, Selasa (13/6/2023).

Dalam rapat tersebut Politisi Partai Gerindra itu mengingatkan bahwa setiap tahunnya terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang cukup besar padahal uang tersebut didapatkan dari pembiayaan utang. Gus Irawan Pasaribu mencontohkan SILPA pada tahun 2020 menembus Rp245 triliun, SILPA tahun 2021 sebesar Rp84,9 triliun dan sebesar Rp111 triliun untuk SILPA tahun 2022.

“Ini kan sederhananya kita ngomong ini uang sisa yang tidak terpakai, padahal sejatinya uang ini kita peroleh dari pembiayaan artinya dari utang. Nah ini tentu yang belanja juga harus dimarahin karena kenapa udah utang kok nggak belanja, kan gitu? Tetapi ini bagian dari evaluasi kita, makin besar SILPA yang tersisa dari APBN kita berarti makin besar juga uang hasil pinjaman yang tidak kita pakai dan ini adalah uang yang berbunga,” ungkap legislator Sumut itu.

Tingginya yield

Hal lain yang menjadi penekanan adalah mengenai tingginya yield atau imbal hasil investasi. Gus Irawan Pasaribu menilai imbal hasil yang ada di Indonesia terbilang sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Sebelumnya, Dirjen PPR menyampaikan bahwa dengan ajuan pagu indikatif Rp21,39 miliar untuk ‘Program Perbendaharaan, Kekayaan Negara dan Risiko’ maka ditetapkan target imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara sebesar (6,49 persen – 6,91 persen) sebagai indikator program.

“Yang kedua tentang yield yang terjadi setiap tahun. Indonesia ini tinggi sekali biaya bunganya itu lho antara 6 sampai 7 persen. Ini jauh dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Nah, ini harus jadi solusi ke depan. Jangan kita nyaman karena kemudahan – kemudahan, kita pinjam via SBN akibatnya kita tidak kreatif untuk mencari dana-dana yang lebih murah. Ini catatan ke dua pak, kalau ini bagian,” ujar Gus Irawan Pasaribu.

Catatan terakhir yang disampaikan adalah terkait catatan BPK mengenai kulminasi utang yang akan terjadi pada periode 2025-2030. Hal tersebut diperkirakan terjadi lantaran adanya pinjaman yang jatuh tempo secara bersamaan. Menutup pernyataannya, Gus Irawan Pasaribu berharap DJPPR dapat memberikan perhatian pada tiga poin yang disampaikannya tersebut.