Surat Terbuka Untuk Pak Walikota Bobby Nasution

Armin Nasution
Armin Nasution

 

Oleh Armin Nasution
 

MEDAN, kaldera.id – SELAMAT pagi bapak walikota Medan yang terhormat. Izinkan saya menuliskan surat terbuka ini kepada bapak karena DM saya di instagram tak direspon atau malah tak dilirik sama sekali. Sejujurnya saya harus memuji nama lengkap bapak yaitu Bobby Afif Nasution sebagai Walikota Medan.

Karena di belakang nama lengkap bapak ada marga Nasution. Semarga kita berarti walaupun tidak segaris keturunan. Dan tentu sayalah yang lebih dulu mengggunakan marga itu di belakang nama, karena saya lebih dulu lahir daripada bapak walikota yang terhormat.

Bukan hanya itu, nama tengah bapak pun persis sama dengan anak laki-laki saya paling bungsu yang sekarang SMA kelas 1. Saya dapat nama itu dari dokter jantung yang merawatnya saat lahir, karena ketika itu dia punya tiga titik jantung yang bocor.

Mudah-mudahan pun dia nanti mana tahu suatu saat punya nasib baik jadi menantu presiden.Entah presiden negara manapun boleh juga yang penting mertuanya adalah kepala negara.

Biar dia punya power lebih, mana tahu pula kita rezekinya jadi pejabat, atau entah jadi walikota juga.

Sepertinya enak betul kalau kita menjabat kepala daerah terus mertua kita adalah presiden. Itu juga yang saya sampaikan ke anak saya. Karena garis tangan, nasib, rezeki tak ada yang bisa menebak.

Lantas kenapa saya harus menuliskan surat terbuka ini kepada bapak? Padahal di kepala saya ada dua topik menarik satu tentang skripsi mahasiswa yang masih pro kontra untuk dihapus, satu lagi surat terbuka ini.

Mumpung pun bapak akan mengakhiri masa jabatan 2024 nanti maka belum terlambat menulis surat.

Itu tadi, instagram bapak yang punya follower 571K sepertinya hanya satu arah. Kalau warga biasa seperti saya yang DM tak akan direspon.

Sejujurnya isi surat ini pun hanya sekadar menyampaikan yang menurut saya lumrah disampaikan. Karena konon kalau untuk mengkritik saya tak berani.

Kawan-kawan saya yang anggota DPRD Medan pun di beberapa kali kesempatan duduk ngopi di pinggir jalan bercerita tak ada gunanya juga mengkritisi periode pemerintahan sekarang. Makanya suara wakil rakyat kami di gedung dewan itu pun seperti tong kosong.

Sedikit pun tak bersuara, termasuk anggota dewan yang dulu berseberangan partainya dengan bapak waktu pemilihan walikota ikut bungkam.

Mereka saja tak bersuara, atau bersuara pun mungkin di paripurna tapi tak didengarkan, konon lagi kami.

Kawan-kawan saya yang jurnalis dan ngepos di Pemko Medan pun diam juga. Padahal dulu waktu saya jadi wartawan, sedekat-dekatnya kita dengan walikota masih bisa mengkritisinya.

Saya ingat dulu zaman Pak Abdillah jadi walikota habis diserang media karena sarang burung walet dan demam berdarah. Sedekat apa dia dengan media coba. Tapi masih ‘digas’ istilah anak Medannya.

Jangan-jangan bapak memang anti kritik. Saya ingat tempo hari saat Bang Panda Nababan mengkritisi Walikota Medan yang tak punya prestasi.

Eh esoknya saya lihat berbagai media yang disuarakan oleh organisasi kepemudaan, organisasi pengusaha ramai-ramai membela bapak.

Hebat itu. Bahkan sampai ada juga kawan-kawan pengusaha yang meminta bantuan saya memberi masukan ke mereka terkait kinerja ekonomi Medan secara makro untuk menunjukkan prestasi bapak.

Padahal pun kalau saya lihat-lihat kinerja makro ekonomi ini bukan yang kinclong kali dibanding daerah-daerah lain.

Tapi begitulah, saat itu saya kasi saja data pertumbuhan ekonomi, inflasi, serta indeks pembangunan manusia.

Biasa-biasa saja sebenarya sebab Medan bukanlah emerging city, atau jadi pusat pertumbuhan ekonomi utama baru Pulau Sumatera atau dibanding kota-kota di Jawa.

Saya tetap percaya, niat bapak membawa Medan sebagai kota metropolitan pasti terus bergelora. Bebas banjir, serta nyaman untuk warga.

Jikalah standarnya kota metropolitan, seharusnya juga prinsip pelayanan publik adalah yang paling utama.

Mungkin bapak bisa meniru-niru kota terdekat saja tak perlu sampai ke Amerika dan Eropa, lihat saja sekilas Singapura. Pasti pun bapak pernah ke sana.

Janji bapak sebelum masa jabatan berakhir yang sebenarnya tak sampai lima tahun harus ditunaikan. Karena janji adalah utang.

Terutama berkali-kali di saat kampanye bapak sampaikan Medan bebas banjir. Tapi progress-nya belum maksimal, bukan belum ada.

Bahkan sepanjang beberapa bulan ini kelihatannya bapak fokus membangun drainase serta revitalisasi jembatan. Bapak tahu? Atau sudah lewat tidak dari galian drainase beberapa ruas jalan yang digali?

Waduh pak, padat dan macetnya minta ampun. Pekerjaannya bukan sehari dua hari tapi berbulan. Pengerjaan di berbagai ruas jalan dilakukan serentak plus tumpukan tanah galian menghias pinggir jalan.

Apakah tidak ada tim pemikir bapak yang misalnya membisikkan, ini kan Jl. Perjuangan sedang digali, jadi untuk ruas lain dikerjakan setelah ini siap. Tapi tidak pak, di saat yang sama Jl HM Yamin juga digali, Jl. Krakatau juga digali simpang Jl. Thamrin dan Sutrisno juga digali. Kenapa tidak bergantian? Atau dibuat terjadwal.

Lalu kini bapak munculkan lagi revitalisasi jembatan Jl. Abdullah Lubis dan Jl. HM Yamin. Dua jalan itu tutup total.

Bayangkan kalau mahasiswa saya misalnya yang mau kuliah di Unimed dia berangkat dari Simpang Selayang atau Tanjung Sari, biasanya harus lewat Abdullah Lubis dan HM Yamin lalu karena revitalisasi jembatan itu dia harus berputar-putar mencari jalan agar sampai ke tempat kuliah.

Kalau bapak dulu kecil sering membaca Siaran Minggu Waspada, di dalamnya ada asah otak mencari jalan. Persis seperti itulah kita sekarang menebak jalan mana yang tak macet dan sedang tidak diperbaiki. Sungguh kenapa misalnya revitalisasi ini tidak Jl. Abdullah Lubis duluan baru HM Yamin atau sebaliknya.

Maksud saya tata kelola dan perencanaan proyek yang berhubungan dengan kepentingan publik di Medan seperti apa? Kenapa di saat bersamaan semua digali dan direvitalisasi.

Mungkin akan bapak jawab karena masa jabatan akan habis. Lalu kenapa dikebut menjelang habis masa jabatan? Bapak bisa aja.

Bapak dengar tidak jeritan ibu-ibu pengusaha warung, usaha kecil di pinggiran jalan yang terimbas karena tiba-tiba sepi pembeli bahkan tak laku.

Tidakkah ada kompensasi? Atau mumpung mereka sepi jualan, kan di Pemko banyak acara, coba bapak pesan nasi bungkus mereka atau order semua dagangan mereka dengan lintas SKPD mudah-mudahan bapak tidak pintar menutup jalan saja tapi juga mencari solusi bagi yang terimbas.

Terus katanya konsep kota ini mau dibuat metropolitan, bukankan di kota-kota metropolitan negara lain setiap pengerjaan yang berhubungan dengan fasilitas publik dilakukan malam hari. Misal dari jam 10 malam sampai jam 4 pagi, sehingga meminimalkan kemacetan.

Ini tidak, saat pagi semua orang berlomba ingin bekerja dan sekolah, di situ pula jalan ditutup, lalu beko mengeruk jalan.

Mungkin karena bapak tidak melewati jalan-jalan itu setiap hari, atau karena kemanapun pakai voreijder, atau jangan-jangan bapak hanya terima laporan asal bapak senang? Sekarang era milenial pak, semua informasi ada di handphone dan medsos. Cobalah bapak cek langsung.

Saya hanya sekadar memberi saran dan masukan saja. Siapa tahu dibaca dan masih berguna di penghujung masa jabatan ini. Oiya by the way boleh tanya pak, kemana ya wakil walikota Medan kok gak pernah kelihatan?