Mengubah Persepsi Dan Eksklusivitas Tentang Industri Halal

Armin Nasution
Armin Nasution

 

Oleh Armin Nasution

MEDAN, kaldera.id – PEKAN lalu Bank Indonesia dan Komisi XI DPR RI yang dalam hal ini diinisiasi oleh Ustad Hidayatullah, SE, menggelar focus grup discussion bertema pengembangan ekosistem halal chain di Sumatera Utara. Jika bicara halal seolah-olah ekslusivitas umat Islam.

Diskusi ini menghadirkan pemantik diskusi yang cukup kredibel. Seperti Ustad Hidayatullah, akademisi UINSU Usman Jakfar, Ketua MUI Medan Hasan Maksum dan tentu saja kehadiran Kepala Perwakilan BI Medan IGP Wira Kesuma.

Diskusi tentu menarik karena di seri sebelumnya fokus pada penguatan islamic social finance dalam mengatasi inflasi.

 

Pangsa pasar masih ketinggalan

Nah tentang halal chain, para pemateri sebenarnya masih prihatin dengan jumlah penduduk muslim besar, tapi pangsa pasarnya masih ketinggalan.

Industri keuangan syariah misalnya baru mendapatkan market share 6-7 persen saja. Sementara jika kita bicara halal chain atau industri halal itu mencakup banyak hal.

Pada 2023, Bank Indonesia memprakirakan sektor prioritas halal value chain (HVC) yang terdiri dari sektor pertanian, makanan dan minuman halal, fesyen muslim, dan pariwisata ramah muslim akan tumbuh sebesar 4,5-5,3 persen, diikuti dengan pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah sebesar 14-16 persen.

Hal itu mengemuka dalam pembukaan Sharia Economic dan Financial Outlook (ShEFO) 2023 yang diselenggarakan secara hibrid di Jakarta dengan tema “Penguatan Sinergi dan Inovasi untuk Mewujudkan Indonesia sebagai Pusat Eksyar (Produsen Halal) Dunia”.

Halal chain ini juga menyangkut wisata. Sumut pernah heboh ketika misalnya Gubsu mengajukan ide terkait wisata halal di Danau Toba.

Lalu kemudian direspon negatif oleh sebagian orang dengan phobia. Sampai muncul ide dari kelompok yang bertentangan untuk lomba makan babi dan aksi demonstrasi sebagai bentuk penentangan.

Mereka sepertinya tidak faham bahwa wisata halal itu bukan berarti Islamisasi. Konteks wisata halal ini mengandung arti pemberian fasilitas bagi wisatawan muslim untuk dapat menunaikan kewajiban syariatnya di lokasi wisata tersebut.

Lalu tersedianya makanan dan minuman yang telah dipastikan kehalalannya, adanya fasilitas untuk beribadah, kemudahan untuk melakukan transaksi keuangan syariah, fasilitas hotel, sikap positif pelaku bisnis terhadap wisatawan dan lain sebagainya.

Karena sejatinya wisata halal ini juga sedang menjadi tren di negara-negara lain, termasuk negara sekuler seperti Jepang, Korea, China dan lainnya, namun dengan penggunaan istilah yang beragam seperti halal tourism, moslem friendly, dan sebagainya.

Konsep wisata halal ini pun sebetulnya universal, sehingga dapat diterima oleh semua kalangan agama, masyarakat budaya, dan pemerintah.

Produk halal ini pun bukan ditujukan untuk umat Islam saja karena standar WHO menyatakan konsep halal itu sejalan dengan rekomendasi konsumsi makanan dan minuman sehat.

Pelaku industri halal dan ekonomi syariah terus berikhtiar mengikis kesan eksklusivisme yang masih ada di tengah masyarakat melalui edukasi dan pencerahan seluas-luasnya tanpa perlu menimbulkan kerumitan baru, yakni dengan menggali nilai-nilai yang selama ini sudah mengalir dalam dunia usaha.

Fokus grup diskusi menunjukkan bahwa sebagai umat terbesar di negara ini pangsa pasar ekonomi syariah dan halal chain harus menjadi sumber pertumbuhan baru.

Ustad Hidayatullah sempat mengemukakan bahwa pemerintah pun sudah sepakat bahwa ekonomi syariah adalah alternatif pendorong pertumbuhan yang sekarang terjebak di angka lima persen.

Menurut dia, pertumbuhan ekonomi konvensional malah meninggalkan jumlah penduduk miskin 12 juta keluarga dengan tingkat pendapatan Rp17.000 per hari.

Jika kemudian standar kemiskinan itu dinaikkan setara ukuran Bank Dunia, angka kemiskinan dipastikan jumlah penduduk miskin itu bisa dua kali lipat.

Itu sebabnya perlu dorongan melebarkan halal chain dengan berbagai cara seperti penguatan kapasitas pelaku dan model bisnis syariah, termasuk akselerasi proses sertifikasi halal untuk mengurangi masyarakat miskin.

Selain itu perlu juga pengembangan inovasi kebijakan dan instrumen pasar keuangan sebagai alternatif skema pembiayaan serta pendanaan syariah, termasuk pengembangan blended finance seperti integrasi keuangan komersial dan sosial syariah.

Penguatan halal lifestyle,  akselerasi digitalisasi eksyar (ekonomi syariah) diantaranya halal traceability dengan menggunakan teknologi blockchain dari hulu ke hilir dan akselerasi digitalisasi ziswaf (zakat infaq sedekah wakaf) untuk meningkatkan transparansi dan inklusifitas serta atta’awun atau sinergi dan kolaborasi sebagai kunci keberhasilan.

Malu kita pengembangan industri halal lebih cepat di Malaysia, Thailand, Korea, China dan Jepang. Bahkan kalau ditanya nomor rekening pun, rata-rata kita masih di bank konvensional. Tantangannya lumayan berat memang.

Indeks literasi ekonomi syariah Indonesia masih pada posisi 23,3 persen, masih jauh dari targetnya 50 persen tahun ini. Di Sumatera, berdasarkan survei BI, masyarakat terliterasi eksyar tertinggi adalah Sumatera Barat (66 persen), disusul Sumut, Aceh dan Jambi yang berkisar 20 persen.