Ketua Kadin Sumut Ingatkan Lagi Ancaman Food Security

Ketua Kadin Sumatera Utara Firsal Ferial Mutyara
Ketua Kadin Sumatera Utara Firsal Ferial Mutyara

 

MEDAN, kaldera.id –  Ketua Kadin Sumut Firsal Dida Mutyara mengingatkan lagi tentang ancaman food security (ketahanan pangan). Hal itu disampaikannya saat berbincang terkait lonjakan populasi yang akan menimbulkan masalah baru.

Dia menganalogikan tentang lonjakan populasi yang akan terus terjadi. “Percaya tidak, di Medan, Binjai, Deliserdang jumlah penduduknya akan double. Karena wilayah ini secara tidak langsung akan bergabung. Nah masalah yang paling kuat akan muncul adalah food security. Pertanyaannya apakah provinsi ini mampu memenuhi kebutuhan pangan,” kata dia.

Menurut Firsal Mutyara yang akrab disapa Dida ini pertanyaan itu akan berlanjut dengan apakah keberadaan badan usaha milik daerah dan perusahaan yang dikelola daerah mampu berperan mendorong penguatan pangan. “Atau istilahnya masih bisa tidak pemerintah dan perusahaannya memberi kita makan. Ini pertanyaan besar,” ungkapnya.

Jika konteksnya begitu, menurut dia, ketidakmampuan memenuhi pangan nantinya akan dilakukan dengan impor. “Polanya dua. Pertama mendatangkan stok pangan dari provinsi lain atau memang murni impor dari luar negeri. Karena ekspektasi kita, saya melihat di 2045 lonjakan penduduk ini akan sampai dua kali lipat untuk daerah tersebut. Setidaknya akan ada 40 juta penduduk,” ucapnya.

Dia mewanti-wanti pemerintah agar memikirkan efek yang muncul tersebut. “Caranya kita harus involve teknologi pangan. Kalau tidak kita akan terus bermasalah. Kemudian machinery pertanian harus dioptimalisasi. Pola ini harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut,” kata Firsal Dida Mutyara.

Menurutnya, negara-negara yang mampu mendorong ketahanan pangan melibatkan teknologi dalam mengatasi masalah food security. “Uniknya untuk kebutuhan pokok utama pun kita mengimpor dari negara-negara tetangga. Seperti beras dan lain-lain,” ungkapnya.

Problem lain yang akan muncul dengan lonjakan penduduk tersebut, dengan melibatkan teknologi adalah penyusutan penggunaan tenaga kerja. Dengan prinsip high labour intensive nantinya tentu saja penggunaan tenaga kerja digantikan mesin dan robot sehingga meminimalkan peran manusia. Coba bayangkan kalau kemudian lonjakan penduduk terjadi, ada masalah food security lalu lapangan pekerjaan diperankan oleh mesin dan robot,” tuturnya.

“Beginilah, di generasi saya saja untuk mengurusi kebun pun sudah tak terlalu memungkinkan. Sekarang semua menggunakan mesin. Untuk ke kebun cukup sekali seminggu saja. Akibatnya tata cara mencari uang di generasi sekarang menjadi berbeda,” katanya.

Karena itu pula Dida mengaitkan kondisi ini dengan perkembangan generasi Z sekarang. “Jika kita masuk pada pertambahan penduduk tadi, lalu pekerjaan yang banyak menggunakan teknologi, pada akhirnya generasi Z kita tidak lagi berorientasi pada prinsip kekayaan tapi hanya pada rasa cukup. Mereka tidak mau kaya. Mereka berfikir dengan rasio yang cukup misalnya untuk liburan dan hidup. Tidak perlu kaya,” jelasnya.

“Kita punya persepsi yang berbeda dengan generasi ini. Anak-anak sekarang sudah tak lagi memikirkan punya rumah seperti yang kita fikirkan. Mereka punya mindset sendiri. Generasi kita ini terlalu cepat perubahannya. Pemikirankaum milenial ini simpel saja, pragmatis dan tidak selalu masalah soal duit,” kata dia.