Site icon Kaldera.id

‘Legacy’ Kepemimpinan

Armin Nasution

Armin Nasution

Oleh Armin Nasution

MEDAN, kaldera.id – DALAM beberapa bulan terakhir salah satu kawan diskusi saya yang paling sering adalah Ketua Kadin Sumut Firsal Dida Mutyara. Tokoh muda ini termasuk orang yang paling impresif kalau diajak diskusi. Apa saja. Mulai dari ekonomi, sampai ke persoalan-persoalan yang menyangkut dunia usaha. Bahkan kadang diantara obrolan itu terselip juga tentang sikap, karakter dan tata cara mengelola hidup.

​Selain ruang kerjanya yang menjadi tempat diskusi, kami juga kadang sering berpapasan di banyak tempat. Bahkan di masjid karena sama-sama sholat berjamaah. Dari semua diskusi yang muncul tentu dominan soal ekonomi. Tapi di pertemuan terakhir dengannya saya sempat bertanya.

​Dialognya kira-kira seperti ini. “Bang ketum, ini kan sebentar lagi mau Pilkada. Sebagai sosok muda yang punya visi, ada tidak yang memberi sinyal mau menggaet Bang Ketum di pemilihan kepala daerah November nanti?”

​Mendengar pertanyaan itu, karena memang sudah di akhir diskusi dijawabnya dengan sangat to the point. “Saya enggak-lah bang. Terfikir pun tidak. Karena pada prinsipnya di Kadin Sumut ini sajalah kita dulu. Pemilihan dan kontestasi itu pasti membutuhkan biaya besar. Yang kalau uangnya kita manfaatkan untuk merintis usaha tentu lebih produktif.”

​“Bukan hanya itu, menjadi pemimpin tidak bisa sekadar lewat saja atau sebatas ada. Pemimpin itu harus punya legacy. Bahwa tanda kita pernah memimpin tentu harus mewariskan sesuatu yang dikenang orang atas prestasi kita. Ada catatan sejarahnya bahwa kita menggoreskan tinta emas atas yang kita pimpin,” jelasnya.

​Saya tertarik dengan kata ‘legacy’ ini. Kalau kita cari-cari maksud kata ini akan muncul dua perspektif. Kamus Merriam Webster mengartikan ‘legacy’ ini dengan dua perspektif. Pertama adalah ‘legacy’ sebagai uang atau harta yang diwariskan kepada seseorang. Yang kedua, diartikan lebih bersifat luas yaitu sebagai sesuau yang dialihkan oleh generasi terdahulu kepada generasi berikutnya.

​Saya kutip kemudian tulisan di insight kontan.co.id bahwa dalam buku The 8th Habit (2004), mendiang Stephen Covey mengatakan bahwa secara asali manusia memiliki empat panggilan yakni to live (untuk hidup) bukan to lie ya (berbohong), yang kedua to learn ( untuk belajar), to love (untuk mencintai) dan terakhir to leave a legacy (meninggalkan legacy).

​Makna ‘legacy’ dalam kepemimpinan terutama dalam pemerintahan bisa dinilai masyarakat. Apa yang disampaikan Firsal Dida Mutyara tadi adalah bahwa ‘legacy’ seorang pemimpin adalah warisan baik yang ditinggalkan kepada warga. Pada akhirnya ini memang yang sulit kita temukan.

​Saya coba maknai dengan berakhirnya semua masa jabatan kepemimpinan kepala daerah terutama di Sumut akan mudah kita nilai dengan kasat mata mana yang punya ‘legacy’ dan mana yang nihil. Tapi jujur saja kita harus akui sulit sekali menemukan para kepala daerah yang mewariskan perubahan prinsipil atau transformasi pemerintahan semasa kepemimpinannya.

​Sebenarnya ‘legacy’ tidak saja harus konteks kepemimpinan pemerintahan. Dimanapun seharusnya ini perlu diwujudkan. Memimpin negara, provinsi, kabupaten kota, organisasi, perusahaan, kampus dan semuanya dituntut memiliki ‘legacy’.

​Tata kelola organisasi misalnya menjadi lebih baik dan terstruktur atas kehadiran seoarang pemimpin. Peringkat akreditasi kampus contohnya menjadi setara internasional atas munculnya seorang pemimpin. Satu perusahaan kemudian berkinerja sangat baik dan mensejahterakan karyawannya atas peran kepemimpinan. Bahkan ‘legacy’ ini akan berpengaruh kepada karakter orang yang dipimpin. Budi luhur dan etika dari orang yang dipimpin dinjunjung setinggi-tingginya.

​Tapi seringkali akhirnya ‘legacy’ ini sulit terwujud. Di pemerintahan misalnya, pemimpin hanya mencari popularitas dengan cara bagaimana agar viral di media sosial. Dengan cara action marah-marah, atau tiba-tiba datang menjenguk warga terindikasi stunting (gizi buruk) atau pasien kritis. Hanya saja biasa yang seperti ini dilakukan saat-saat kampanye atau menjelang berakhirnya kekuasaan.

​Tulisan ini hanya pengantar menjelang November 2024 yang akan menjadi momentum pemiihan kepala daerah termasuk Sumatera Utara. Saya kira kita harus pintar-pintar memilih pemimpin yang akan meninggalkan ‘legacy’. Terutama menguji para petahana apakah yang sudah mereka wariskan untuk kita di periode pertama. Jika tak ada, saya kira jangan ‘tergoda’ untuk memilihnya di November nanti.

Exit mobile version