Para seniman saat melakukan latihan sebelum penampilan
Para seniman saat melakukan latihan sebelum penampilan

 

KARO, kaldera.id – Sinematografi Teater Tendi Karo Volkano menampilkan karya kreatif dan inovatif lewat “The Last Sira”. Episode ini merupakan awal mula pengenalan peradaban karo yang digagas Teater Rumah Mata Medan.

Ada 15 seniman yang tampil dalam perhelatan yang rencananya di gelar di kaki Gunung Sibayak, tepatnya Desa Semangat Gunung, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Sabtu (10/8/2024).

The Last Sira sendiri merupakan inti sari dari riset Projek Tendi Karo Vulkano Sinematografi Teater. Sedangkan 15 pegiat seni yang tergabung dalam Seniman Residensi Indonesia yang tampil dalam perhelatan tersebut yakni, S. Metron Masdison (Padang), Syamsul Fajri (Lombok), Lestari (Yogyakarta), Rafika Ul Hidayati (Pekanbaru), Hananingsih Widhiasri (Wonogiri), Rasyidin Wig Maroe (Bireuen-Aceh).

Kemudian Andi Parulian Hutagalung, Pusen Sinulingga, Christopher, Sri Sultan Suharto Saragih, Rahmat Setiawan, Priska Prisilia Br Bangun, Rudi Pranoto, dan Christopher Loise Sembiring yang merupakan seniman lintas disiplin; tradisi karo, teater, musik, tari, art-visual, film serta rupa asal Sumut.

 

Perjalanan menelusuri jejak peradaban

Salah satu seniman yang tampil dalam pertunjukkan itu, Andi Parulian Hutagalung mengatakan, perjalanan menelusuri jejak peradaban masyarakat karo dalam proyek Sinematografi Teater Tendi Karo Vulkano produksi Teater Rumah Mata Medan merupakan sesuatu pengalaman yang sangat berharga dan unik.

Pria yang juga pegiat budaya bidang sinema yang kini menetap di Medan itu menemukan referensi tentang identitas kebudayaan masyarakat karo dan jadi bahan materi diskusi selama 2 bulan terhitung sejak Mei 2024.

“Sebelum perhelatan ini dimulai kami melakukan riset mencari peradaban sejarah masyarakat karo dengan menelusuri beberapa tempat tempat bersejarah dan penting yang menjadi pusat peradaban karo. Kemudian berdiskusi, baik secara daring dan tatap mata. Berdialog dengan masyarakat setempat. Bagi saya, perjalanan dalam melakukan riset tersebut merupakan sesuatu yang sangat berharga dan unik,” ungkapnya.

Andi menuturkan, beberapa tempat yang ditelusuri dalam melakukan riset antara lain, Gunung Barus, Desa Barus Jahe, Menara Pandang Tongging dan Desa Dokan, tempat rumah-rumah adat karo berdiri tegak menjulang tinggi dengan usianya yang telah mencapai ratusan tahun.

Sebelum perhelatan digelar juga dilakukan workshop bedah karya yang disampaikan oleh S. Metron Masdison (Padang) sebagai penulis naskah dan Agus Susilo sebagai penggagas permasalahan dengan moderator Syamsul Fajri (Lombok).

“Dari sinilah karya ini diberi judul The Last Sira sebagai saripati pencarian garam terakhir oleh orang-orang karo,” ungkapnya. (reza)