Site icon Kaldera.id

Pengawasan Bandara Lemah, Wabah Corona Rentan Masuk RI

Pengawasan Bandara Lemah, Wabah Corona Rentan Masuk RI

Pengawasan Bandara Lemah, Wabah Corona Rentan Masuk RI

JAKARTA, kaldera.id- Pengawasan di bandar udara (bandara) terhadap kemungkinan masuknya Virus Corona ke Indonesia dinilai masih sekadarnya. Buktinya, virus ini masuk ke dalam negeri tanpa terdeteksi. Kemenkes diminta turun tangan memperbaiki itu.

Presiden RI Joko Widodo sebelumnya mengumumkan bahwa dua WNI positif mengidap Covid-19. Mereka diduga terpapar virus dari warga negara Jepang yang sudah lebih dulu terinfeksi.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan WN Jepang tersebut bisa keluar-masuk Indonesia karena tidak terdeteksi pemeriksaan suhu di bandara. Pasalnya, ia tidak dalam kondisi demam ketika datang dan pulang dari Indonesia.

Sehari sebelumnya, Komisioner Ombudsman Alvin Lie mengaku mendapat laporan bahwa pemeriksaan Corona di bandara yang tidak maksimal. Pada pemeriksaan di Terminal 3 Bandara Soetta misalnya, hanya dilakukan menggunakan termometer biasa, bukan thermoscan. Petugas yang berjaga hanya dua orang. Antrean pun mengular.

Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Bandara Seoatta Anas Maruf membantahnya dan menyebut bahwa pendeteksi panas tubuh atau thermal scanner massal selalu menyala dan memindai suhu penumpang dari luar negeri.

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah pun mengatakan pengawasan di pintu masuk dan keluar Indonesia masih sekadarnya. “Yang dilakukan pengawasan sifatnya, ya menurut saya sekadar ada. Jadi belum optimal. Maka [ini] yang terjadi karena tidak optimal,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (3/3/2020).

Kelemahan yang dimaksud mengacu pada teknologi maupun sumber daya manusia. Perkara teknologi, Trubus berpendapat pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan pengukur suhu saja.

Mencegah Wabah Virus Corona

Merujuk pada kasus WN Jepang tersebut, ia menilai pengukur suhu tidak selalu efektif dalam mencegah masuknya Corona. Pemerintah, kata dia, tidak bisa bergantung pada teknologi dan harus mengandalkan sumber daya manusia (SDM). Petugas jaga harus mengerti gejala dan ciri-ciri suspect Virus Corona.

“Itu harus ditingkatkan pengetahuan. Literasi terhadap corona, gejala, orang yang menderita cirinya apa. Supaya tidak hanya mengandalkan teknologi tadi,” tuturnya.

Senada, pengamat kebijakan publik Riant Nugroho mengatakan petugas di bandara harusnya yang berlatar belakang medis agar pemeriksaan lebih komprehensif.

Tak hanya mengandalkan thermal scanner, kata dia, pemeriksaan seharusnya dilakukan secara berlapis, mulai dari dalam pesawat sampai di dalam bandara. Kru pesawat hingga petugas di bandara harus bisa mengawasi penumpang dari gerak-geriknya.

“Misalnya [penumpang perilakunya] ditengarai bagaimana. Ada SOP. Mungkin dimasukan dalam ruangan khusus dan dipantau CCTV,” ujarnya. Namun, ia mengaku itu baru bisa dilakukan jika pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, mengusahakannya, terutama dari segi anggaran.

“Enggak bisa serta merta bandara disuruh mengerjakan semuanya. Kecuali itu intervensi dari pemerintah,” ucap dia.

“Karena kalo budget ekstra tidak ada pembenarannya. Itu bisa dikira efisiensi. Jadi BUMN bandar udara harus dibantu juga. Jangan disalah-salahkan. Yang mengeluarkan [anggaran] Menkes,” imbuhnya.

Langkah-langkah di pintu keluar dan masuk negara ini menurut Riant penting untuk diutamakan. Saat virus sudah masuk ke dalam negeri, seperti yang sudah terjadi saat ini, akan sangat sulit melakukan pengawasan lebih lanjut.

“Pergerakan manusia banyak kita besar sekali lho. Kita enggak punya alat surveillance [untuk orang sakit]. Katakan lah di Surabaya. Punya kamera di seluruh tempat. Tapi itu untuk surveillance crime. Bukan penderita [penyakit],” ujarnya.

“Makanya kita bilang, kebijakan publik dan instrumennya itu berjalan tertatih-tatih di balik masalah yang kejadian,” tambah Riant lagi. (fey/arh/cnn/finta rahyuni)

Exit mobile version