Gus Irawan Serukan Dampak Kenaikan BBM Harus Ada Solusi Semua Sektor

Anggota Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu
Anggota Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu

JAKARTA, kaldera.id- Anggota Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu mengatakan, dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terhadap sektor pangan komoditas bahari, yang mengakibatkan nelayan tidak bisa melaut sebagaimana mestinya, menjadi tanggung jawab bersama yang harus diurai juga secara bersama-sama.

“Disampaikan, karena kenaikan harga BBM, sehingga pelaut atau para nelayan, mereka yang biasanya turun sampai 28 hari, sekarang tinggal 16 hari. Hal itu karena ketidakmampuan untuk pengadaan bahan bakar, ini tentu jadi tanggung jawab kita secara bersama-sama,” ujarnya kepada media, Jumat (9/9/2022).

Menurut dia, peran dari pemerintah pusat untuk segera menurunkan atau menyalurkan subsidi-subsidi energi dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT), kepada nelayan terdampak sangat dibutuhkan, mengingat operasional di laut nantinya akan berdampak pada ikan tangkapan yang dihasilkan di daerahnya, menjadi tidak terkendali akibat ketidakmampuan nelayan untuk melaut. Sementara, ada persoalan lain terkait jumlah penerima BLT, dimana data yang menjadi masalah nasional ini belum juga terpecahkan. Masalahnya, dari data penerima BLT tersebut tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan.

“Itu menjadi problem nasional kami di Komisi XI dengan BPS terus berusaha, dan tahun ini BPS mendapatkan anggaran Rp3,2 triliun itu untuk mengambil data sensus, data sosial ekonomi masyarakat, sehingga kita bisa melihat secara riil, siapa sebenarnya yang butuh bantuan, misalnya dari miskin ekstrim, kemudian miskin, dan berpotensi miskin. Ini 3 kategori yang saya kira memang perlu dipantau, supaya pemerintah dalam menyalurkan bantuan itu bisa betul-betul sesuai dengan sasaran,” kata dia.

Komisi XI DPR RI juga menyoroti peran Bank Indonesia (BI) dalam menekan laju inflasi. Gus Irawan menilai sejauh ini peran BI sudah cukup berjalan on the track, hanya saja dalam hal pengendalian peredaran rupiah, dirinya lebih banyak menyoroti kebijakan-kebijakan fiskal yang dikeluarkan. Di antaranya, pos-pos dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tidak perlu dianggarkan ke dalam APBN seharusnya tidak dianggarkan, sehingga akhirnya membebani APBN.(rel/arn)