Oleh: Fakhrur Rozi
PEKAN lalu penggemar sepakbola di dunia diselimuti kabar dihentikannya liga-liga dunia. Liga Serie A Italia, disusul Liga Primer Inggris, La Liga Spanyol dan terbaru Liga 1 Indonesia juga dihentikan menyusul pandemi Virus Corona.
Pemberhentian liga-liga mashyur dunia itu (kalau Anda percaya, Liga 1 Indonesia termasuk di dalamnya), menambah gundah pendukung Liverpool, yang pekan lalu ‘tebuntang’ (jatuh terjerembab dan malu) dari Liga Champions Eropa, di Anfield Stadium .
Kami mencoba melihat kekalahan Liverpool atas Atletico Madrid secara objektif bercampur ‘gondok’ (kesal). Objektif karena dalam setiap pertandingan harus ada yang menang dan kalah. Gondok karena Juergen Klopp seperti ‘membiarkan’ Atletico lewat. Saya punya beberapa fakta sebagai sandaran untuk memilih kata membiarkan itu.
Pertama, Klopp menyadari timnya akan bermain tanpa Alisson dan digantikan Adrian saat bersua Atletico Madrid di leg kedua itu. Kemampuan dua kiper ini jauh beda. Alisson sudah teruji dengan penyelamatan mayor di bawah mistar. Sementara Adrian juga teruji, dengan sejumlah keberuntungan. Dengan situasi Adrian di bawah mistar, harusnya, Klopp bisa memaksa pemainnya bermain lebih beringas dengan mencetak gol sebanyak-banyaknya.
Kedua, Klopp menyadari dia kehilangan The Winning Liverpool, usai kalah 1-0 dari Atletico Madrid di leg pertama. Setelah kalah itu, Liverpool kalah lagi Watford 3-0 dan Chelsea 2-0. Liverpool sempat menang saat bersua tim lemah AFC Bournemouth 2-1. Harus dicatat, empat laga itu dilakoni dengan formasi serupa (4-3-3) dan pemain yang 80% sama. Dengan formasi serupa, tentu saja mudah bagi pelatih Atletico Dieogo Simeone memainkan taktiknya. Main bertahan sejadi-jadinya. Soal formasi ini jadi tak lazim bagi kami.
Liverpool – Klopp juga Manusia
Klopp biasanya bisa memainkan formasi yang berbeda untuk memastikan timnya tetap bisa bergerak dan menang. Perubahan formasi sejak awal ataupun di tengah laga seperti kontra Leicester di Liga Primer Inggris. Pergantian formasi diterapkan Klopp untuk 3 pemain depannya, yakni Mohamed Salah, Roberto Firmino dan Sadio Mane.
Mohamed Salah dipasang sebagai ujung tombak, sementara Roberto Firmino dan Sadio Mane berperan sebagai nomor 10 di belakang Mohamed Salah. “Kami mengubah formasi sedikit, kami memasang Mo (Salah) di tengah dan Bobby Firmino dan Sadio mengambil peran nomor 10, untuk memberikan lawan sebuah kejutan,” kata Klopp. Kemarin, itu tidak terlihat.
Menurut catatan Squawka yang, formasi 4-2-3-1 sempat digunakan dalam taktik Liverpool sebanyak 10 kali musim lalu dan bisa menambah variasi permainan. Pada formasi ini, Mohamed Salah dipasang sebagai ujung tombak dengan dukungan Firmino di belakangnya. Ya sudahlah, toh Liverpool dan Klopp juga manusia. Apapun alasan dan dalihnya, Liverpool sekarang tinggal menunggu putusan soal Liga Primer Inggris saja. Sebab gelar Liga Primer Inggris yang seharusnya dapat direbut setelah menunggu 30 tahun, terganggu sebab virus corona.
Akhirnya, Virus Corona
Pandemi wabah virus corona memang sudah membuat resah warga dunia. Setidaknya itulah kata berita-berita. Jumlah kematian ribuan jiwa. Korban sakitnya ratusan ribu jiwa dan sudah menyebar di 152 negara di dunia. Termasuk Indonesia. Kabar terakhir sudah 4 orang meninggal dunia. Media belum pernah buat berita di mana dan bagaimana mereka dikuburkan.
Pandemi wabah ini juag mengusik beberapa kebiasaan masyarakat dunia, terutama masyarakat kelas menengah. Sebab pemerintah meminta interaksi dikurangi, menjauhi tempat keramaian, bekerja dari rumah dan sebagainya. Sementara masyarakat kelas menengah kita tidak mungkin tidak berinteraksi. Berkuranglah kebiasaan itu sementara.
Bahkan, tempat ibadah seperti masjid pun sudah terpapar antisipasi virus corona. Sampai masjid di tanah suci mekkah diisolasi. Hadits-hadits terkait penyakit menular pun bertebaran di dunia maya. Belakangan, jika Anda merasa ‘horor’saat mendengar orang batuk-batuk atau berdehem-dehem, saat ada di masjid, saya pastikan Anda tidak sendiri.
Banyak yang demikian. Semua itu, bisa jadi sekali disebabkan media yang Anda konsumsi. Saya pun berasumsi, Teori Komunikasi klasik seperti jarum hipodermik (1930an), teori kultivasi (1970an) masih bersesuaian dengan era disrupsi masa kini bukan?(*)
Penulis adalah warga Medan, penggemar sepakbola, mahasiswa Pascasarjana KPI UINSU