Dr.Putri C.Eyanoer, Ms.Epi.,Ph.D,FISPH.,FISCM.
Tim Pakar Epidemiologi KKCS
Dosen F.Kedokteran USU Medan
Tidak terasa sudah satu purnama kita direkomendasikan untuk bekerja dari rumah atau istilah kerennya work from home. Bahkan jauh sebelumnya telah direkomendasikan untuk melaksanakan social distancing/physical distancing.
Rekomendasi-rekomendasi tersebut tidak hanya berdasarkan angka kejadian di negara kita tetapi juga dengan melihat, mendengar dan mempelajari angka di negara-negara lain yang sudah lebih dahulu mengalami pelonjakan kasus Covid-19 dan harus menghadapi berbagai konsekuensi dari Covid-19 yang hampir semuanya tidak mengenakkan.
Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk merepresentasikan beban akan penyakit Covid-19 berdasarkan Pedoman Pengendalian Covid-19 oleh Dirjen Pengendalian dan Pencegahan Penyakit pada Maret 2020 antara lain angka Kasus Konfirmasi (berdasarkan test), Pasien Dalam Pengawasan (dengan skala gejala ringan hingga berat), Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Orang Tanpa Gejala (OTG).
Per 16 April 2020 di Sumatera Utara total angka kasus positif adalah 104 orang. Angka total ODP adalah 2,387 orang dan angka total PDP 139 orang. Sedangkan angka OTG hingga saat ini belum pernah terlihat dipublikasikan, yang mana hal ini sebenarya sangat penting.
Definisi OTG merupakan kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19. Adapun defenisi kontak erat adalah :
a. petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan membersihkan ruangan di tempat perawatan kasus tanpa menggunakan APD sesuai standar,
b. orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus (termasuk tempat kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala., dan
c. orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala (Pedoman Pengendalian Covid-19).
Dari definisi di atas dapat dibayangkan banyaknya orang yang harus dipantau meskipun tanpa gejala. Pertanyaannya adalah siapa yang akan memantau keseluruhan OTG ini mengingat terbatasnya sumber daya kita saat ini, baik dalam jumlah pemantau yang sedikit, maupun system pencatatan yang masih sangat outdated atau konvensional.
Tidak tercatatnya kasus OTG menunjukkan bahwa kita sebenarnya “buta”. OTG yang tidak terpantau adalah kelompok orang yang sangat berpotensial menyebarkan penyakit lebih luas dan tidak terprediksi. Jika dilihat dari grafik, angka masing-masing kelompok PDP dan ODP sepakat naik dari hari ke hari.
Keterbatasan sumber daya pencatatan hampir selalu menghasilkan data yang underestimated atau angka kejadian yang lebih rendah dari angka sesungguhnya di lapangan.
Merujuk kembali ke tahun 2005 saat terjadi wabah Avian Influenza atau Flu Burung, data dari propinsi dengan sumber daya yang baik atau cukup selalu menghasilkan angka kasus paling tinggi dibandingkan propinsi yang lainnya.
Untuk Sumatera Utara dapat dilihat bahwa Kota Medan berkontribusi terhadap 30 dan 40 persen untuk masing-masing ODP dan PDP.
Hal ini bisa diasumsikan akibat beberapa hal :
1. Kasus di Kota Medan memang paling banyak atau
2. Pencatatan di kabupaten lain tidak sebaik di Kota Medan.
Dengan adanya variasi data yang sangat besar, maka ada baiknya kesimpulan akan beban Covid19 dijabarkan berdasarkan daerah masing-masing.
Hal lain yang perlu dicermati dalam pencatatan kasus Covid-19 adalah adanya angka yang tidak realistis. Contoh yang paling sederhana adalah angka yang dilaporkan oleh Kota Medan dibandingkan dengan angka yang dilaporkan oleh Propinsi Sumatera Utara, dimana angka untuk kota Medan jauh lebih besar dari angka untuk Propinsi, sementara kota Medan merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Utara.
Data per 17 April 2020, angka PDP Kota Medan adalah 225 orang sedangkan PDP Sumatera Utara 144 orang.(Ig@Pemprovsumut dan @pemko.medan). Hingga saat ini belum ada penjelasan resmi terkait hal ini.
Sebenarnya Indonesia “diuntungkan” dengan mendapat ujian Covid-19 setelah beberapa negara lainnya terkena lebih dulu dan darinya kita dapat mempelajari dan bahkan mencontoh upaya pencegahan dan penanganan Covid-19 ini.
Sangat disayangkan pengumpulan data yang validitasnya tinggi seperti tidak menjadi prioritas dalam upaya pencegahan penyebaran penyakit yang lebih parah. Hal ini menjadi berbahaya ketika kebijakan diambil berdasarkan data-data yang ada.
Beberapa contoh yang sudah kita lihat misalnya kebijakan dalam kapan akan menghentikan kegiatan belajar mengajar, kegiatan beberapa kantor yang dianggap krusial seperti bank, bahkan kebijakan untuk kegiatan peribadahan seperti misa, sholat jumat bahkan untuk sholat Tarawih mengingat bulan Ramadhan yang tinggal dalam hitungan hari.
Ramadhan Tinggal Menghitung Hari
Angka yang terlihat “masih kecil” menimbulkan anggapan bahwa masih ada beberapa kegiatan yang “dapat dilakukan” karena kondisi saat ini masih dianggap “tidak terlalu membahayakan”.
Hal lain adalah ketika membuat kesimpulan berdasarkan data akumulatif. Besaran beban tiap daerah tentunya berbeda-beda. Jika data yang dikumpulkan akurat maka akan membantu skala prioritas dalam pencegahan, penanganan bahkan membuat kebijakan.
Pencatatan data yang akurat dan valid membutuhkan revisi sistem pencatatan menjadi lebih baik, informatif dan user friendly.
Selain itu dalam kondisi pandemic saat ini dibutuhkan penambahan tenaga pencatat yang selayaknya dilatih untuk menyeragamkan persepsi dan pengetahuan tentang apa yang akan dan harus dicatat.
Publikasi data yang terkumpul harus ditampilkan dalam infografis yang mudah dipahami serta dipublikasikan melalui satu pintu yang diakui juga Pemerintah Pusat.
Untuk Sumatera Utara sendiri sangat dibutuhkan koordinasi pencatatan data di setiap kabupaten/kotamadya.