Sekilas tentang Politik dan Budaya di Dunia Maya

Fakhrur Rozi.
Fakhrur Rozi.

oleh: Fakhrur Rozi

PEMAHAMAN keseluruhan tentang internet dan dunia maya dari perspektif sosiologi komunikasi, budaya, politik, dan ekonomi yang terintegrasi akan menjadi sumber daya utama untuk memahami dan mengembangkan kehidupan virtual. Bicara politik di sini, sama dengan membahas soal kekuasaan secara luas. Begitu juga dengan budaya, itu adalah soal kebudayaan manusia itu sendiri. Dengan kehadiran internet, politik dan budaya tentu memiliki makna dan manfaat tersendiri di ranah itu. Tim Jordan (2002), mengusulkan pemahaman tersebut dengan mendefinisikan sifat kekuasaan di dunia maya. Cyberpower memiliki tiga level yang saling terkait, masing-masing level diresapi oleh jenis kekuatan yang berbeda.

Ketika dunia maya dipahami sebagai tempat bermain individu, maka kekuatan dunia maya muncul sebagai kepemilikan yang dapat digunakan individu. Di sini dapat ditemukan bentuk-bentuk yang jelas dan khas dari cyberpolitics seperti privasi, enkripsi, sensor, dan sebagainya. Dalam komunikasi, kondisi ini memungkinkan setiap orang menjadi komunikator dengan bantuan internet. Di media sosial misalnya, seseorang dapat dengan bebas menyampaikan pendapatnya. Kemudian pendapat itu mendapat respon dari pengguna media sosial lainnya. Semakin banyak yang merespon, tentu seseorang itu akan dianggap semakin berpengaruh (influencer).

Saat dunia maya dipahami sebagai tempat sosial, tempat komunitas berada, maka kekuatan dunia maya muncul sebagai kekuatan teknologi di mana kebebasan bertindak yang lebih besar ditawarkan kepada mereka yang dapat mengontrol bentuk-bentuk ruang maya dan teknologi Internet. Tiga tokoh terkait Kevin Mitnick, Bill Gates, dan Linus Torvalds mencontohkan bentuk kekuatan dunia maya ini karena mereka semua, dalam cara yang berbeda, “kuat” karena kemampuan mereka untuk memanipulasi teknologi virtual. Kesimpulan dari bentuk cyberpower ini adalah apa yang tampak dari perspektif individu sebagai media pemberdayaan, dari perspektif sosial, didominasi oleh elit yang berdaya teknologi.

Di sisi lain, memang, situasi tersebut juga dibatasi oleh teknologi internet itu sendiri. Misalnya soal pribasi, enkripsi dan sensor. Artinya, platform media sosial tertentu memilik hak atas setiap konten yang diunggah oleh penggunanya. Senang tidak senang, mau tidak mau, pengguna harus tunduk pada aturan itu. Sebuah konten dapat saja dihapus (takedown) oleh Facebook atau Instagram misalnya, dengan dalih melanggar peraturan komunitas mereka. Di ruang virtual, seperti chat room atau kolom komentar pada website, juga demikian. Komentar itu dimoderasi dan disesuakan dengan kebijakan pengelola website. Jika tidak baik, komentar pengguna juga dapat dihapus, bukan?

Ketika internet dan dunia maya dipahami sebagai masyarakat atau bahkan negara digital, maka kekuatan siber muncul sebagai imajinasi yang melaluinya individu saling mengenali komitmen bersama terhadap kehidupan virtual. Imajinasi ini disusun oleh lawan obsesi dengan surga yang mungkin dibawa dunia maya, dengan kehidupan abadi, seperti dewa di atas silikon sebagai tujuan utamanya, dan neraka dunia maya dapat membawa, dengan pengawasan total, menit dari semua kehidupan virtual yang dimungkinkan oleh dunia maya.

Untuk mudah memahami kalimat di atas, saya mengajukan contoh kekinian. Korean wave, gelombang Korea, yang dalam 10 tahun terakhir mengguncang budaya secara global tidak bisa dilepaskan dari perkembangan internet itu sendiri. Dengan sadar atau tidak, setiap pengguna internet di Indonesia juga terkena dampak itu. Segala sesuatu yang berbau Korea, mulai fashion, kosmetik, gaya hidup, menjadi sesuatu sekali.

Contoh lain yang bisa saya ajukan, adalah soal belanja online. Sazali dan Rozi (2020) mengungkapkan, penggunaan aplikasi belanja online dan aplikasi pinjaman (kredit) uang online yang semakin tinggi saat ini, tentu akan memunculkan patologi sosial. Secara langsung atau tidak dapat menjebak masyarakat milenial dalam lingkaran konsumerisme. Tanpa literasi teknologi komunikasi dan informasi (literasi digital) bisa menimbulkan patologi sosial dan dapat berubah menjadi jebakan bagi penggunanya yang terdeterminasi gaya hidup digital. Budaya populer selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya populer membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Sangat mungkin, masyarakat pada usia milenial akan turut terjebak dengan budaya populer berbelanja online ini.(*)

Referensi:
Jordan, Tim. (2002). Cyberpower : The Culture and Politics of Cyberspace and the Internet / T. Jordan.. Contemporary Sociology. 31. 10.2307/3089671.

Sazali, H. & Rozi, F. (2020). Belanja Online dan Jebakan Budaya Hidup Digital pada Masyarakat Milenial. Jurnal Simbolika: Research And Learning In Communication Study. 6 (2): 85-96

*)Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FIS UINSU, dan staf pengajar STIK-P Medan