Oleh : Armin Nasution
TERKEJUT juga membaca salah satu unggahan seorang senior hotelier Sumut Cahyo Pramono hari ini. Di status facebooknya dia tuliskan kekhawatirannya terkait Musda ke XII PHRI yang akan dilanjutkan tahun depan. Intinya kira-kira dia mengingatkan bahwa organisasi ini harus dibangun dengan semangat melayani.
Sebab di beberapa periode sebelumya dia sudah ikut jatuh bangunnya PHRI sejak masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Seringkali menurut dia calon ketua datang untuk membangun organisasi dengan janji dan uang namun hanya bertahan tiga bulan. Setelah itu sang ketua lebih mengutamakan agenda politiknya. Lalu kemudian organisasi vakum tak bernyawa.
Sebagai orang yang sudah malang melintang di bisnis hotel, Cahyo Pramono saya kenal dulu sejak liputan awal sebagai wartawan sekira 20 tahun lalu. Bahkan di antara sekian orang hotel yang pertama saya kenal sejak jadi wartawan di Harian Waspada ya Cahyo Pramono ini. Wajar dia gelisah melihat Musda PHRI sekarang. Karena sebenarnya saat jadi wartawan, pun saya juga pernah ikut meliput Musda PHRI lalu kemudian vakum setelahnya.
Lantas setelah terbiasa meliput di hotel maka sebenarnya selama jadi wartawan sejak tahun 1999 pun saya mengenal banyak pelaku bisnis tersebut. Ketika Musda PHRI Sumut digelar 2015 lalu, menjadi tonggak bangkitnya kembali organisasi ini dari tidur panjangnya.
Untuk membangunkannya bisa dilihat bahwa sebenarnya para tokoh senior di perhotelan sempat turun gunung. Hendri Hutabarat misalnya, Cahyo Pramono juga, Hendra Arbie, serta asosiasi lain yang bergerak di bidang perjalanan wisata. Mereka seperti menjadi motor penggerak bangkitnya PHRI.
Kala itu memang yang terpilih adalah Denny S Wardhana. Lima tahun dia menjalankan organisasi dengan banyak hegemoni di dalamnya. Lantas kemudian periode berakhir, lalu maju lagi dalam Musda ke XII PHRI yang digelar Selasa (15/12/2020).
Saat Musda lalu sebenarnya saya berfikir bahwa ini akan berjalan lebih smooth, adem dan tanpa friksi. Tapi dugaan tersebut kemudian meleset. Tudingan-tudingan miring dialamatkan ke pengurus lama lewat laman medsos dan media online. Intinya para pengurus harus menelan semua tuduhan tersebut tanpa bisa membela diri, karena mereka ‘dimainkan’ lewat media [kurang jelas] dan medsos.
Itu pula yang kemudian mendorong saya ikut membuat beberapa tulisan yang setidaknya menjadi penyemangat pengurus lama yang ‘diserang’ dengan banyak versi. Bahkan pun setelah terjadi perhitungan suara antara ketiga calon yang maju yaitu Lyly Zainab, Denny S Wardhana dan Wesley Indra Marpaung, komentar miring makin kencang. Biasa saja praktik seperti itu karena tentu calon yang maju berharap dengan menyudutkan pengurus secara langsung dan tidak langsung akan menambah perolehan suara di putaran kedua nanti.
Memang hasil perolehan suara Denny dan Wesley imbang dengan begitu harus dilanjutkan ke putaran kedua. Sebenarnya walaupun surat suara dan hasil perhitungannya tidak ditunjukkan, saya punya analisis dan prediksi sendiri terkait pemilihan tersebut. Denny memiliki tiga suara dan Weley juga sama.
Proyeksi suara saat Musda
Suara Denny itu saya perkirakan berasal dari BPC Simalungun, Samosir dan Karo. Sementara suara Wesley berasal dari BPC Deliserdang, Tobasa dan Medan. Itu analisis pribadi dan sederhana sebenarnya. Kenapa bisa mengelompokkan begitu? Karena memang di tim yang mendukung calon ketua adalah kawan-kawan lama yang tentu sudah punya pilihan dan dukungan untuk bertarung dengan calonnya. Pengelompokan dan analisis tersebut bisa dipetakan dibalik siapa pendukungnya dan tim-nya. Simpel kan?
Di tim Wesley misalnya ada Jafar Gultom, dulu sempat di Garuda Plaza Hotel. Kemudian juga ada kawan-kawan dari pengurus BPC Deliserdang seperti Afwandi yang sekarang di The Crew Hotel KNO pun orang lama Garuda Plaza Hotel sekaligus pengurus BPC Deliserdang. Suara Deliserdang ini kemudian diwakili Jittar Manurung saat pandangan BPC terhadap laporan pertanggungjawaban dengan rargumentasi sederhana atas apa yang disampaikan ketua lama.
Mereka ini orang lama di hotel dan juga kawan lama. Bahkan ketika tulisan sebelum ini muncul dengan judul “Dan Mereka Pun Menyerang PHRI” maka termasuk yang berkomentar atas tulisan itu adalah Jittar Manurung dan Afwandi. Hanya saja komentar Afwandi lebih ringan, karena dia mempertanyakan apakah yang ditulis itu berita atau komentar. Padahal jelas saja tulisan tersebut dimuat di kolom opini. Wajar dia bertanya begitu karena dulu sering mengirimkan siaran pers untuk teman-teman media.
Sedangkan Jittar ketika mengomentari tulisan hanya menuturkan maksudnya berargumentasi saat Musda sebagai sikap elegan dan fair serta berharap karena semua teman baik tidak perlu saling menjatuhkan atau membenci. Betul memang, di antara kedua calon ketua semua saling kenal, berteman dan faham sikap masing-masing tim.
Misteri Peninjau Musda
Tapi yang sedikit menjadi ‘misteri’ adalah ketika muncul statement dari peninjau Musda Yonge Sihombing. Hal itu dia sampaikan saat paparan visi misi para kandidat melalui mikrofon dijelaskannya banyak hal tentang organisasi dan bagaimana seharusnya PHRI. Bahkan di tulisan saya sebelum ini pun dia memberikan tanggapan di kolom komentar.
Tapi ya kembali lagi, saya sebenarnya lebih cenderung melihat ketika kita mengomentari sesuatu harus punya fakta otentik, jelas dan terukur. Bagaimana mungkin misalnya seorang peninjau yang duduk di arena Musda dari pk.09.00 pagi sampai pk.13.00 tengah hari lantas mengevaluasi kinerja pengurus lama yang sudah ada sejak lima tahun lalu.
Sejujurnya saat kita menyampaikan sesuatu harus punya argumen kuat dan tentu saja dibarengi kompetensi yang pas. Dengan begitu komentar yang keluar pun menjadi poin positif untuk kemajuan. Ini takutnya PHRI di komentari, lantas polemik rektor USU pun ikut-ikutan dikomentari, pergantian Menteri pun dikomentari. Kan lucu kalau semua mau kita kasi komentar layaknya manusia serba bisa.
Maka sebenarnya kalaupun ingin lebih mendalami soal laporan pertanggungjawaban atau laporan keuangan bisa memintanya di sekretariat PHRI. Tokh saat mencalon jadi walikota Medan, Bobby Nasution pun pernah singgah ke PHRI dan diterima dengan baik. Apalagi misalnya orang yang berniat ikut membesarkan PHRI, atau para anggota dewan atau yang pernah jadi caleg atau siapapun pasti akan disambut baik.
Inti tulisan ini, sebenarnya tidak ada gunanya memperuncing friksi dengan mengumbar komentar apalagi ‘membusukkan’ pengurus. Karena itu tadi, pada akhirnya yang ketemu kawan ke kawan juga. Kalau pun ada yang tersangkut di hati baiknya dibicarakan baik-baik bukan dengan menabuh kegaduhan. (penulis adalah jurnalis)