Ahmad Muhajir
Ahmad Muhajir

Oleh: Ahmad Muhajir

MEDAN, kaldera.id – Media sosial kini menjadi salah satu instrumen penting dalam kehidupan manusia.

Hampir setiap sendi kehidupan manusia tidak pernah luput dari media sosial, mulai dari aktivitas keseharian, pekerjaan, hobi, olahraga dan liburan semuanya dapat di ekspresikan lewat media sosial.

Maka tak heran kini manusia menjadi ketergantungan terhadap media sosial. Hal itu tentu saja tidak terlepas dengan berkembang pesatnya platform media sosial yang ada hari ini.

Sebut saja Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, Youtube dan WhasApp menjadi sarana sosial media yang mainstream digunakan.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan berkembangnya media sosial saat ini. Sebab banyak dampak positif yang bisa dirasakan dengan penggunaan media sosial.

Orang-orang kini dapat berkomunikasi bertatap muka secara virtual dengan fitur video call melalui WhasApp, menggelar lapak dagangan di Facebook dan Instagram serta banyak lagi manfaat yang bisa dirasakan.

Sayangnya, memang tidak semua orang dapat menggunakan media sosial untuk hal-hal yang positif dan bijak.

Banyak juga orang-orang yang menggunakan media sosial untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu yang justru cendrung merugikan banyak orang.

Ujaran-ujaran kebencian, berita hoax acap kali muncul di beranda-beranda media sosial sebagai bentuk ekspresi dan propaganda.

Pesatnya perkembangan media sosial ini dipengaruhi oleh dua hal, antara lain: Pertama, Perkembangan teknologi, yang mengalami evolusi semakin kesini semakin cepat.

Hal ini bisa kita lihat kebelakang sejak belum ditemukannya teknologi internet, yaitu mesin cetak, radio, televisi, hingga saat ini dengan adanya media baru (online dan medsos).

Teknologi berkembembang sangat pesat, bahkan bisa dikatakan sebagai revolusi teknologi. Kedua, Semua orang saat ini bisa memiliki media sosial.

Jika untuk memiliki media konvensional seperti televisi, radio, atau koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang banyak, maka lain halnya dengan media sosial.

Faktor kedua inilah yang menjadi karakter spesifik media sosial dibanding media konvensional atau media mainstream, yakni semua orang dapat memiliki dan memproduksi konten apa saja tanpa adanya filter (editing) dari siapapun dan pihak manapun.

Pengguna media sosial dengan bebas bisa mengedit, menambahkan, memodifikasi baik tulisan, gambar, video, grafis, dan berbagai model konten lainnya.

Selain itu, faktor kedua ini yang juga berpotensi memunculkan berita-berita hoax dan ujaran kebencian.

Bahaya laten Hoax Jelang Pilpres 2024
Bicara tentang hoax tentunya tidak terlepas dari ujaran kebencian, sebab keduanya saling berkelindan satu sama lain.

Diantara hal tersebut tentu saja dapat dipahami karena hoax memilki banyak sekali tema yang dapat digunakan sebagai isu dalam membangun narasi di media sosial.

Isu-isu yang sering digunakan dalam berita hoax biasanya seputar SARA (Suku, agama dan ras), politik, ilmu pengetahuan dan juga kesehatan. Namun yang justru sering viral adalah isu agama dan politik.

Kedua isu hoax ini sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan NKRI. Mengapa demikian?

Politik sebagaimana diketahui selalu berkaitan dengan kekuasaan dan kekuasaan bagi manusia selalu menjadi ambisi dan bahan untuk diperebutkan dengan berdarah-darah. Tidak jarang perebutan kekuasaan berakhir dengan konflik bahkan chaos.

Isu politik, selalu marak manakala menjelang pemilu. Padahal hampir setiap tahun di Indonesia selalu ada pemilu, sejak dari pilpres, pilgub, pilkada bahkan pilkades selalu muncul isu-isu hoax.

Narasi-narasi pemberitaan hoax berseliweran

 

Menjelang pilpres 2024, narasi-narasi pemberitaan hoax kian gencar berseliweran. Itu dapat dilihat dengan begitu masive nya pemberitaan-pemberitaan di media sosial yang dilakukan oleh para pendukung capres, meskipun belum final proses pencapresan hingga saat ini, namun geliat dan tanda-tanda capres sudah begitu jelas.

Saling serang, menjatuhkan, menghina dan menghujat menjadi tak terelakan lagi. Tentu siapa yang akan dirugikan?

Tentu saja masyarakat yang tidak memahami dinamika politik yang begitu dinamis dan cendrung tidak tertebak sama sekali.

Oleh karena itu jangan sampai terjadi kembali konflik-konflik sosial seperti pilpres 2019 yang disebabkan karena beda pilihan capres.

Jangan sampai kembali terjadi seperti di Sampang, pembunuhan yang dilakukan Idris dengan menembak mati saibudin karena beda pilihan capres, sungguh ironi dan diluar akal sehat.

Namun pertanyaannya mengapa hal itu sampai terjadi? lalu mengapa seseorang sanggup menghabisi nyawa orang lain karena beda pilihan capres?

Jawabnya adalah selain fanatisme buta faktor lain yang menyebabkannya adalah berita hoax dan ujaran kebencian di medai sosial.

Di pilpres 2024 mendatang kita berharap situasi dan atmosfir politik bisa lebih kondusif dan nyaman. Sudahlah, masalah perbedaan pilihan jangan dijadikan jurang untuk menjauhkan satu dengan yang lainya.

Jangan sampai perbedaan pilihan menjauhkan kita dengan keluarga, dengan orang yang kita cintai dan juga dengan teman-teman kita. Perbedaan pilihan politik adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihilangkan.

Lantas bagaimana solusinya agar menjelang pilpres 2024 tidak terjadi kembali konflik dan berujung saling bunuh, paling tidak ada dua tawaran solusi yang harus sama-sama kita kerjakan.

Pertama, melaksanakan penyadaran kepada masyarakat untuk bijak dalam menggunakan media sosial, hal itu memang tidak mudah, dan harus sesering mungkin dilakukan, paling tidak bisa dimulai dari diri sendiri.

Mengajak masyarakat untuk teliti dan cermat dalam mengkonsumsi berita di media sosial, mana berita atau informasi yang layak dan sehat untuk di konsumsi. Kedua, membudayakan sikap tabayyun (klarifikasi).

Ini sangat penting dimana kita harus lebih berhati-hati dalam menerima informsi di media sosial dengan mengkroscek terlebih dahulu kebenaran dari berita atau informasi yang kita terima.

Jangan sampai kita tergesa-gesa membagikan berita yang di dapat dari media sosial yang justru pada akhirnya dapat merugikan diri kita sendiri.

*Penulis adalah Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas