Armin Nasution
Armin Nasution

Oleh Armin Nasution

MEDAN, kaldera.id – Tulisan sebelumnya telah membahas bagaimana prosesi pengambilan keputusan di keluarga Gus Irawan Pasaribu. Artikel itu juga mengupas apa yang membuat Gus Irawan Pasaribu kembali ke kampung.

Karena memang ketika Pemkab Tapsel mendapatkan berpuluh-puluh penghargaan, bagaimana sebenarnya indikator makro daerah tersebut? Atau ketika pencitraan muncul setiap hari di media sosial seperti instagram dan tiktok sehebat apa rupanya Tapsel? Biasanya kepala daerah yang selalu muncul di ujung pemerintahannya karena memang membutuhkan suara masyarakat untuk menopang keberlanjutan kepemimpinan. Lihatlah di instagram dan tiktok yang seolah-olah masyarakat sangat dekat dengan pemimpinnya.

Padahal arena media sosial adalah sisi pencitraan yang subyektif. Hanya agar dilihat bagus. Apakah tampilan media sosial itu seiring dengan indikator makro di Tapsel? Coba kita ulas bagaimana indikator dan progres pembangunan di Tapsel yang rata-rata air bisa dilihat dari sisi sosial ekonomi, infrastruktur dan indeks pembangunan manusia. Saat menyiapkan competitiveness indeks provinsi-provinsi di Indonesia, saya pernah membuat tulisan sejenis ini untuk dipresentasikan di National University Singapore beberapa tahun lalu.

*Infrastruktur*

Bicara infrastruktur atau akses jalan di Tapsel, sedunia sudah melihat bagaimana kondisi jalan lintas Batu Jomba. Mobil angkutan, bus, kendaraan pribadi layaknya harus bisa mengendalikan kendaraannya agar tak masuk jurang. Berbagai video yang sudah mendunia tentang Batu Jomba bisa dilihat dimana-mana.

Alasan klise pasti muncul. Dolly Pasaribu sebagai Bupati Tapsel pasti berdalih bahwa ruas jalan itu adalah jalan nasional. Sebagai kepala daerah sebenarnya tidak bisa sekadar merespon dan ‘membuang bola’ ke pihak lain. Karena sebagai bupati tentu punya fungsi koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah di atasnya.

Dulu pun zaman Syahrul M Pasaribu jadi bupati, kondisi ruas jalan Aek Latong di Sipirok nyaris sama. Sebagai daerah patahan kondisi jalan di wilayah tersebut labil. Sampai akhirnya Syahrul ‘menggendong’ proyek perbaikan dan pemindahan ruas jalan itu dari Jakarta dengan melobi ke pemerintah pusat dan DPR RI. Itu contoh kalau pemimpin daerah punya akses ke nasional.

Sebenarnya di Tapsel bukan Batu Jomba saja yang perlu perhatian. Jika mengacu pada data Tapsel dalam Angka 2024, panjang jalan yang ada di Tapsel adalah 1.195 km. Dengan permukaan aspal 638 km di tahun 2023 meningkat sedikit dibanding 2022 yang mencapai 606 km. Kemudian jalan beton 69 km pada 2023 dari 55 km di 2022. Jalan kerikil 309 km berbanding 371 km di 2021. Lalu jalan tanah ada 178 km dari 211 km di 2021.

Nah jika dilihat permukaan jalan tanah dari 2021 sampai 2023 berkurang 33 km saja. Jalan yang paling signifikan perbaikannya adalah jalan aspal sepanjang 65 km selama tiga tahun. Berarti hanya rata-rata 20 km saja per tahun.

Bagaimana dengan jalan rusak? Dari data itu ruas jalan rusak di 2021 adalah 88 km saja tapi di 2022 meningkat jadi 120 km dan di 2023 naik lagi jadi 122 km. Sedangkan jalan yang rusak berat di Tapsel pada 2021 sepanjang 283 km kemudian di 2023 menjadi 225 km, atau dalam 3 tahun hanya ada perubahan 58 km saja.

Tahu tidak untuk mengaspal satu kilometer jalan di kabupaten dengan lebar sekira 7 meter itu butuh biaya Rp3 mliar sampai Rp5 miliar dengan satu lapis. Sementara jalan nasional dengan lebar sama butuh biaya hingga Rp8 miliar karena perlu dua lapis. Jadi jika Bupati Tapsel membangun dan mengaspal jalan di wilayahnya 20 km setahun itu hanya mengeluarkan uang sekira Rp100 miliar saja.

Jalan rusak berat terpanjang ada di Sipirok dan Saipar Dolok Hole disusul Aek Bilah dan ruas jalan Marancar ke Sipirok. Jalan ini statusnya adalah jalan provinsi yang sudah dianggarkan di APBD Provinsi dengan multi years contract tahun 2022 dan 2023. Tapi disayangkan karena tidak dikawal dengan baik sehigga Tapsel kehilangan kesempatan mendapatkan alokasi Rp126,7 miliar untuk memperbaiki ruas jalan tersebut.

Infrastruktur lain pun nyatanya kurang lebih sama. Irigasi misalnya di 2021 yang rusak mencapai 239 ha kemudian di 2023 menjadi 262 ha. Sedangkan yang rusak berat 2021 seluas 619 ha di 2023 menjadi 488 ha.

Maka wajar kemudian dengan perkembangan pembangunan infrastruktur seperti itu Tapsel masih menyimpan rumah tak layak huni. Di Tapsel, kondisi rumah tak layak huni mencapai 12.688 unit turun sedikit dari periode 2021 yang totalnya 13.321. Artinya rumah tak layak huni ini turun sedikit dibanding sebelumnya. Apakah semua kondisi ini mencerminkan keberpihakan Pemkab Tasel terhadap peningkatan infastruktur?

*Indikator kesejahteraan*

Jika kondisi infrastrukturnya seperti itu, bagaimana dengan indikator kesejahteraan seperti kemiskinan dan indeks pembangunan manusia? Di Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) bisa dilihat dengan dengan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial di kabupaten tersebut.

Penyandang masalah kesejahteraan sosial ini mulai dari anak jalanan, gangguan jiwa, fakir miskin, pencandu narkoba, anak terlantar, lanjut usia terlantar sampai penyandang cacat jumlahnya masih tinggi. Di 2021 ada 159.455 orang, kemudian 2022 menjadi 161.767 dan di 2023 sudah 148.594 orang.

Makin pelik persoalannya ketika soal kesejahteraan itu dihubugkan dengan rumah tak layak huni di Tapsel. Di periode 2021 rumah tak layak huni ini 12.321 unit, setahun kemudian menjadi 12.850 dan berikutnya 12.688. Artinya data ini makin melengkapi kerumitan tingkat kesejahteraan.

Bagaimana dengan jumlah penduduk miskin sepanjang Dolly Pasaribu berkuasa? Memang secara kasat mata kalau dilihat baik dari sisi jumlah maupun persentase penduduk miskin di Tapsel cenderung menurun. Walau tidak menunjukkan loncatan yang luar biasa.

Coba kita lihat, jumlah penduduk miskin menurun dari 25 ribu orang menjadi 20 ribu orang di 2023. Demikian juga persentasenya dari 8,80 persen di 2021 menjadi 7,01 persen di 2023. Tapi ada yang aneh dengan angka ini. Wajar kemudian kalau angka kemiskinan di Tapsel misalnya menurun drastis karena ukuran garis kemiskinannya lebih rendah dibanding daerah lain. Di Tapsel ukuran garis kemiskinannya Rp480.834 per kapita perbulan.

Kalau dibandingkan dengan Kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara, angka kemiskinan mereka sedikit lebih tinggi. Tapi tahu tidak ukuran kemiskinan di Mandailing Natal itu Rp487.436 per kapita per bulan. Di Tapanuli Tengah mencapai Rp489.700. Sementara di Tapanuli Utara lebih tinggi lagi karena mencapai 499.881. Jadi wajar Tapsel mengklain penduduk miskinnya di kisaran 7 persen karena ukuran kemiskinannya juga rendah.

Coba bandingkan dengan Padangsidimpuan misalnya yang jumlah persentase penduduk miskinnya 6,85 persen tapi kemudian ukuran kemiskinannya di angka Rp523.244.

Kondisi kemiskinan di Tapsel sejalan dengan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinannya. Di 2021, indeks kedalaman kemiskinan mencapai 1,53 persen kemudian menjadi 0,92 persen di 2023. Lantas indeks keparahan kemiskinan dari 0,40 persen di 2021 menjadi 0,18 di 2023. Dalam indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin di Tapsel cenderung mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran kelompok penduduk miskin mengalami peningkatan.

Demikian pula dengan keparahan kemiskinan di Tapsel mengindikasikan bahwa ketimpangan antara pengeluaran peududuk miskin di Tapsel yang semakin meningkat. Kondisinya tak jauh berbeda dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tapsel. Di 2023 lalu IPM Tapsel berada di angka 74,58 naik sedikit dari tahun sebelumnya di posisi 73,96. Tapi angka ini pun tak lebih baik dari Tapanuli Utara (tetangga sebelah) yang IPM nya 76,86 atau juga Padangsidimpuan di angka 78,10.

Bahkan jika digali variabel penyumbang IPM ini seperti umur harapan hidup di Mandailing Natal masih lebih tinggi dibanding Tapsel. Atau pengeluaran perkapita masyarakat Tapsel pun lebih rendah karena di angka 11.829.000 dibanding Tapanuli Utara yang sudah mencapai 12.115.000. Bandingkan lagi dengan Padangsidimpuan, maka seluruh indikator IPM Tapsel masih dibawahnya. Jumlah anak terlantar di Tapsel hingga 2023 mencapai 270 orang sedikit di bawah Nias yang mencapai 315 orang.

Semua kinerja makro yang terjadi di Tapsel dengan kondisi rata-rata saja, semakin komplit dengan laju pertumbuhan ekonomi Tapsel yang belum bisa pulih layaknya sebelum pandemi covid 19 yang di 2019 mencapai 5,23 persen tapi hingga di 2023 saat daerah lain terus berbenah untuk tumbuh, Tapsel malah terjebak di pertumbuhan 5,11 persen.

Artinya ratusan atau ribuan penghargaan pun diperoleh jika tidak disertai kinerja makro ekonomi hasilnya sia-sia. Semua yang muncul di media sosial cenderung pencitraan. Sehingga Tapsel membutuhkan pemimpin yang bisa membawa daerahnya lebih kencang berlari.

Saya sebagai orang yang lahir, besar dan sekolah di Tapsel malu juga rasanya dengan kondisi yang sekarang terjadi. Saya kira hal itu pula yang membuat Gus Irawan Pasaribu harus maju di kompetisi kali ini, dengan pengalaman sebagai Direktur Utama Bank Sumut tiga periode, anggota DPR RI terpilih tiga periode serta berpengalaman di berbagai organisasi tingkat nasional. Bahkan soal pertemanan dan sisi lebih humanis untuk membantu orang ada di figur Gus Irawan Pasaribu.(selesai)