Site icon Kaldera.id

Al Washliyah dan H. Hidayatullah, Tak Sekedar Anggota Kehormatan

Ilustrasi pilkada serentak

Ilustrasi pilkada serentak

Oleh: Rezki Saputra Hasibuan.

Perpolitikan Sumatera Utara begitu meriah, khususnya Kota Medan, setelah partai-partai mendaftarkan calon Kepala Daerah Kota tersebut. Menjadi meriah karena salah satu calon Walikota Medan adalah H. Hidayatullah yang maju dengan Partai Keadilan Sejahtera.

Menariknya tentu bukan saja karena maju menjadi Bakal Calon Walikota Medan dari PKS, melainkan juga karena latar belakang politisi asketik ini sebagai kader Al Washliyah. Tidak sekedar Anggota Kehormatan, sebagaimana calon Walikota-walikota Medan sebelumnya, melainkan kader tulen, sejak orangtuanya, (alm) H. Kasim Inas, sebagai salah seorang tokoh Al Washliyah.

Belum dapat diketahui bagaimana strategi “Pasukan Arsyad Thalib Lubis” itu untuk memenangkannya. Juga belum mengemuka bagaimana strategi “Gerbong Syekh Masyhuril Khomis” mengantarnya menjadi Walikota Medan lima tahun ke depan. Akan tetapi senyatanya baru kali ini calon Walikota Medan yang berasal dari Kader Organisasi Islam dengan jamaah terbesar di Sumatera Utara.

Dengan menyebut Ormas terbesar dalam perhelatan politik ini bukan berarti mengedepankan sektarianisme, apalagi dimakan sebagai politik identitas. Akan tetapi hampir dipastikan bahwa seluruh warga Al Washliyah akan mengalami kegembiraan, “happiness” yang luar biasa dengan tampilnya salah seorang putra terbaiknya menjadi Calon Walikota Medan.

H. Hidayatullah Politisi yang Asketik

Amat mengharukan ketika menemukan data yang valid bahwa H. Hidayatullah—setelah dua periode menjadi Anggota Legislatif di Deli Serdang, satu periode menjadi Anggota Legislatif di Sumatera Utara, serta satu periode menjadi anggota DPR RI, akan tetapi baru dua tahun terakhir dapat mendirikan rumah sederhana, hasil tabungan keluarga. Sedang sebelumnya tinggal bersama di rumah orangtuanya, di samping fasilitas pemerintah, jika pun tersedia.

H. Hidayatullah, diketahui, hanya memiliki mobil sederhana, itu pun merupakan hasil penjualan kambing yang dibesarkan jama’ah untuknya karena dia tidak pernah menerima honor saat ceramah agama.

Diketahui pula, dari enam orang putra putrinya, hanya tersedia satu sepeda motor matic untuk antar jemput 6 orang bersaudara ke sekolah dan tempat kerja. Mengharukan bukan? Akan lain halnya data kekayaan yang akan diperoleh bila dihadapkan kepada kebanyakan politisi lain di seantero negeri kita.

Tidak pernah mau menerima uang—apa pun—dari tugasnya kecuali gaji. Juga tidak pernah menyentuh uang reses, melainkan diserahkan ke para staf untuk dibagi habis kepada rakyat.

Bukan hanya itu, bahkan jika ada uang yang lolos masuk ke rumah karena ‘diselundupkan” dengan mengatakan uang H. Hidayatullah yang tertinggal di kantor, setelah diketahuinya, langsung minta ditransfer ulang untuk dikembalikan. Dengan hal yang sama, bila ada hadiah berupa parsel yang lolos masuk ke rumah, langsung diminta untuk segera dibagi-bagi ke fakir miskin tanpa disentuh keluarganya.

Dengan tidak berlebihan, izinkan penulis untuk mengatakan bahwa asketisme H. Hidayatullah telah mengikuti berbagai kesederhanaan sejumlah ulama Al Washliyah yang pernah kita dengar.

Politisi Beretika

Hidayatullah pernah menjadi anggota DPRD termuda di Deli Serdang selama dua periode. Selanjutnya mendampingi Ayahnya dalam tugas-tugas politik, menyebabkan pengetahuan dan kemampuan berpolitik H. Hidayatullah bukan sekedar “ketemu di jalan”, apalagi kebetulan karena mendapat dukungan partai, melainkan dia adalah seorang politisi yang terdidik dan mendapat penggemblengan langsung dari orangtuanya, politisi beretika, H. Kasim Inas.

H. Hidayatullah memiliki komitmen pada keahlian utamanya sebagai politisi di bidang ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. Dia dipuji oleh para politisi yang mengenalnya karena sikapnya dalam berpolitik yang selalu menjunjung tinggi etika dan kepatutan.

Demikian tingginya komitmen pada dunia politik hingga H. Hidayatullah berkali-kali menyebutkan bahwa dia hanya mampu melaksanakan tugas dan jabatan di bidang politik, tidak pada bidang lain. “Jika Allah tidak memberi kesempatan bertugas sebagai anggota legislatif, berarti saatnya saya akan berdakwah,” katanya.

Ujian Bagi Al Washliyah

Kondisi perpolitikan di tanah air saat ini menyebabkan pikiran menjadi menerawang. Sumatera Utara belum pernah memiliki calon pemimpin Daerah seasketik ini. Tapi apakah rakyat akan berhasil mengantarnya sebagai Walikota Medan?

Kalau ukuran elektoral adalah materi; pemberian sembako atau uang (ingot-ingot), makan boleh jadi H. Hidayatullah akan mengalami kesulitan memenangkan perhelatan ini. Akan tetapi—dengan melihat jumlah warga Al Washliyah sebagai komunitas terbesar di Sumatera Utara, kita akan bisa tersenyum simpul karena warga ‘ Penengah’ ( Al Washliyah) tidak akan mau main-main dengan kesempatan ini.

Sogokan materi (ingot-ingot) dan iming-iming tidak akan menggoyahkan warga untuk memilihnya, sebagaimana mereka tidak tergoyahkan memberhasilkan Allah Yarham Abdul Halim Harahap dan Dedi Iskandar Batubara yang tak bergeming diantar sebagai Wakil Rakyat dan Daerah dari Sumatera Utara.

Begitulah, bila pada saatnya harapan ini dilapangkan jalan oleh Ilahi maka rakyat Kota Medan akan boleh tersenyum dengan kehadiran pemimpin yang mereka dambakan. Wallâhul Hâdî Ilâ Shirâthim Mustaqîm.(*)

*Penulis adalah Alumni UIN Syahid Jakarta. Kini mengajar di Medan

Exit mobile version