Azwar, Potret Kepala Keluarga yang Merantau sebagai Pengayuh Becak

Azwar, 80, saat ditemui di seputaran Jalan Sei Bahorok Medan,
Azwar, 80, saat ditemui di seputaran Jalan Sei Bahorok Medan,

“Saya tidurnya di becak saja. Kasihan nanti istri dan anak saya di kampung tak dapat kiriman uang kalau saya sewa rumah lagi.” Azwar, 80 tahun.

MEDAN, kaldera.id – Pagi itu seorang lelaki tua bersiap-siap di sisi becak dayung. Dengan matahari yang masih sedap dipandang, Azwar, 80, kembali mengayuh becak usangnya, di seputaran Jalan Sei Bahorok, Rabu (18/12/2019).

Azwar adalah salah satu dari banyak orang yang menggantungkan hidupnya dengan menjadi pengayuh becak. Di usianya yang menginjak delapan dekade, ia masih kuat menarik penumpang. “Kalau pagi sampai sore bapak mangkalnya di sini. Sore sekitaran jam 3 sampe malam, baru di simpang Jl. Abdullah Lubis sana,” katanya saat ditemui Kaldera.id.

Azwar mengaku mengayuh becak dayung sejak dia masih muda. Dengan profesinya sebagai penarik becak dayung, dia berusaha memenuhi kebutuhan anak dan istrinya di kampung. Dari becak dayung ia bisa menyekolahkan kedua anaknya hingga sampai tingkat SMA.

Sambil menggosokkan minyak ke kakinya sekedar untuk menghilangkan pegal mengayuh becak,dia bercerita penghasilan yang di dapatnya dari becak dayung tidak banyak hanya Rp50 ribu perhari itu pun belum termasuk biaya makan dan lain lain. “Kalau dihitung sehari, dapat bersihnya sekitar Rp20 ribu. Itu pun sudah makan 2 kali sehari” katanya

Azwar sendiri mengaku berasal dari Desa Bangun Purba,Deliserdang. Karena itu pula, dia jauh dari anak dan istrinya. Dia kadang hanya pulang sekali sebulan untuk menemui istri dan anak-anaknya sekedar untuk melepas rindu. Untuk menambah penghasilan, istrinya di kampung menanam sayur kangkung, daun ubi, dan genjer. “Setelah panen istri saya keliling pakai sepeda untuk jual sayur ke tetangga-tetangga. Sekali panen kadang bisa dapat Rp100 ribu. Itulah untuk bantu makan di rumah,” tambahnya.

Selain itu, Azwar mengaku tidak memiliki tempat tinggal di Medan. Karena itu, untuk mandi dan ganti baju, dia memanfaatkan kamar mandi masjid di sekitar ia biasa mangkal. Terkadang dia juga mendapat sumbangan seperti beras,minyak,uang dari orang dermawan, ada juga yang melebihkan tarif ongkos becak dari biasanya. Karena penghasilannya mengayuh becak minim, dia tidur di becak dayung yang biasa dibawanya untuk mencari nafkah.

“Saya tidurnya di becak saja. Karena untuk sewa rumah uangnya tak cukup. Kasihan nanti istri dan anak saya di kampung tak dapat kiriman uang kalau saya sewa rumah lagi,” tambahnya.

Azwar mengaku biasa tidur di depan rumah makan yang ada di simpang Jalan Abdullah Lubis. Di lokasi itu kata dia, kalau malam ramai orang yang tidur di depan rumah tokoh (ruko) di sebelah rumah makan tersebut. “Saya tidurnya ya gini, duduk kayak penumpang biasa. Kakinya saya lurusin ke depan. Kadang kalau capek duduk, saya duduk di bawah kursinya kepalanya saya letakkan di tempat duduk becak,” katanya sambil mempraktekkan cara tidurnya.(finta rahyuni)