Perubahan Sosial dan Teknologi di Masa Pandemi
Perubahan Sosial dan Teknologi di Masa Pandemi

JAKARTA, kaldera.id – Angka penyebaran Covid-19 masih tinggi khususnya di Indonesia. Setelah kurang lebih 3 bulan Indonesia berperang melawan virus corona penyebab Covid-19.

Kini baik pemerintah maupun masyarakat terlihat mulai mengendurkan proteksinya terhadap infeksi virus tersebut.

Pada Minggu (14/6/2020) total kasus positif virus corona di Indonesia mencapai 38.277 kasus

Meski demikian, pemerintah mulai mengimbau masyarakat untuk berdamai dengan virus melalui diberlakukannya era kenormalan baru atau new normal.

Sementara banyak masyarakat yang sudah mulai kembali beraktivitas normal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, meskipun jumlah kasus infeksi masih tinggi.

Perlahan tapi pasti, semua memang diminta untuk terbiasa dan menerima kondisi hidup berdampingan dengan virus corona baru ini.

Peneliti dari Pemda DIY Joko Hariyono melalui penelitian yang dilakukannya, menyebut masyarakat tetap bisa memenangkan pertandingan melawan virus corona meskipun memasuki era kenormalan baru dan hidup berdampingan dengan virus.

Kenali musuhmu

Dalam menjalani sebuah pertandingan, untuk bisa menang kita harus mengetahui siapa yang sedang kita hadapi, seperti apa karakteristiknya, dan apa saja kelemahannya.

Kali ini, musuh yang kita hadapi bersama adalah virus. “Jika setiap warga masyarakat mengenali karakteristik penyebaran virus corona dan menerapkan protokol kesehatan, maka kita bisa memenangkan peperangan melawan pandemi ini,” kata Joko mengutip pernyataan yang disampaikan salah satu tim ahli di Gugus Tugas.

Jika semua masyarakat paham dan disiplin menjalani aktivitas sehari-hari dengan mengacu protokol kesehatan, maka terhindar dari virus adalah hal yang sangat mungkin terjadi, meskipun tidak menutup potensi untuk tetap tertular.

Hal kedua yang perlu dilakukan adalah pemerintah selaku regulator memiliki kesadaran bahwa masyarakat tidak akan 100 persen menjalani imbauan di saat kenormalan baru dengan taat dan disiplin.

Sehingga mengandalkan era kenormalan baru untuk tetap produktif dan sepenuhnya terbebas dari Covid-19 tidak bisa diharapkan.

“Ia ( protokol kesehatan) hanya meminimalisir persentase penularan agar mendekati 0 persen. Itu bisa 1 persen, 5 persen, bahkan 40 persen.

Sangat tergantung konteks siapa, apa, di mana,
kapan, mengapa, dan bagaimana terkait aktivitas masing-masing individu,” papar Joko.

Orang tanpa gejala

Hal selanjutnya yang harus diwaspadai sebagai “musuh” dalam perang ini adalah virus yang ada dalam tubuh seseorang, namun tidak menimbulkan gejala apapun.

Penderita biasa disebut sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG)

Sebagian besar OTG ini merupakan orang-orang di usia produktif, memiliki kondisi tubuh yang prima, dan memiliki aktivitas tinggi, termasuk dalam berinteraksi dengan orang lain.

“Virus corona menjadikan anak-anak muda sebagai kendaraan untuk bergerak, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya, hinggap dan berpindah-pindah lokasi menyebar ke berbagai wilayah,” ujar joko

Untuk menghadapi OTG, sekadar imbauan tidak akan cukup. Diperlukan pelacakan secara agresif agar virus yang ada pada mereka bisa diatasi sebelum diam-diam menginfeksi lebih banyak orang.

Jika sebelumnya keberadaan OTG masih belum terdata dan tertangani secara baik, maka di masa kenormalan baru masalah ini disebut Joko bukan tidak mungkin menjadi alasan kurva infeksi semakin menanjak.

Indonesia pun mungkin bisa menjadi salah satu episentrum penularan Covid-19 terbesar di Asia Tenggara. (kompas/kal/rh)