JAKARTA, kaldera.id – Guru Besar Fiqih Siyasah UIN Sumatera Utara TGS Prof Dr KH Saidurrahman MAg menegaskan khilafah adalah satu bentuk pemerintahan yang dikenal dalam Islam di samping bentuk kerajaan dan demokrasi.
Dalam memilih sistem pemerintahan yang terbaik, tergantung pada warga masyarakatnya. Ajaran Islam normatif tidak memastikan satu bentuk pemerintahan dan sejarah juga telah membuktikan bentuk pemerintahan Islam yang bervariasi.
“Bentuk pemerintahan Islam itu bervariasi terkait nilai-nilai Islam, keadilan, amanah dan maslahat dapat terwujud, terjaganya ad-din dan terkelolanya dunia,” kata Saidurrahman ketika tampil sebagai nara sumber pada webinar nasional bertajuk “Khilafah dalam Lintasan Sejarah Islam”, yang diselenggarakan KAHMI, Minggu (6/9/2020).
Selain Prof Saidurrahman, tampil sebagai narasumber Prof Dr Azyumardi Azra (Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1998-2002), Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Dr Al Makin MA periode 2020-2024.
Di samping sederetan nara sumber itu, tampil sebagai penanggap sejumlah tokoh nasional dan alumni HMI, seperti Ridwan Saidi, Chumaidi Syarif Romas, Dr Abdullah Hehamahua, Dr Ahmad Fanani, Dr Pangihitan Nasution.
Acara webinar yang dimoderatori itu Rakhmat Hidaya Ph.D itu menghadiri hampir 500-an peserta yang tersebar dari pengurus dan alumni HMI se-Indonesia.
TGS Prof Dr KH Saidurrahman MAg Tegaskan hilafah Adalah Bentuk Satu Pemerintahan
Menurut Prof Saidurrahman Khilafah ala Turki kekinian adalah Republik, ala Saudi Arabia adalah mamlakah (kerajaan). “Sedangkan ala Indonesia, ya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujarnya.
Khilafah kata dia, adalah ajaran Islam yang dipahami dari nash-nash Al-Qur’an dan Hadis Nabi serta telah mewujud dalam periode tertentu sejarah Islam.
Berkaitan dengan itu, pendiri bangsa memahami dengan sangat sempurna dan utuh, untuk menjadikan nilai-nilai agama sebagaimana yang tercermin dalam Pancasila sebagai spirit dalam bernegara.
Jadi, lanjut Rektor UINSU periode 2016-2020 itu, pilihan Pancasila sebagai dasar negara dan NKRI sebagai wujudnya, adalah pilihan terbaik dan final bagi bangsa Indonesia yang sangat pluralistik.
“Artinya, bahwa Pancasila telah menjadi kalimatun sawa’ bagi bangsa ini, sehingga 75 tahun Indonesia berdiri, NKRI tetap terjaga dengan baik,” katanya.
Prof Saidurrahman juga menyampaikan dalam memahami khilafah banyak yang keliru. Padahal sesungguhnya, khilafah itu bukan pemerintahan Islam yang absah. Khilafah kita adalah NKRI dan NKRI itu harga mati. “Menurut saya inilah yang masuk dalam nilai-nilai Pancasila yang utuh dan terus dipertahankan,” katanya.
Khilafah Adalah NKRI Menurut Prof Saidurrahman
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Prof Dr Azyumardi Azra menyebutkan bahwa istilah khilafah tidak ditemukan dalam al-Qurán, apalagi dengan konotasi sebagai sistem politik dan kenegaraan.
“Jadi, secara khusus bahwa kata khilafah tidak ditemukan dalam Alquran. Wacana kontemporer tentang khilafah adalah romantisasi, idealisasi dan ideologisasi atas khilafah melalui misreading dan miskonsepsi,” beber Azra.
Dia mengarakan, narasi khilafah dapat menguat jika negara dan masyarakat muslim gagal mewujudkan kemajuan di tengah berbagai tantangan dan disrupsi politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, sain-teknologi, dan agama.
Prof Azyumardi Azra mencontohkan bahwa sekularisme pemisahan agama dan negara. Republik Turki moderen setelah penghapusan Kesultanan Turki Usmani, Negara ini tidak bersahabat lagu dengan agama.
Dijelaskannya, integrasi agama dengan negara dengan al-Qurán sebagai ‘konstitusi’ dan penerapan syariáh; contoh tipikal Arab Saudi. Akomodasi Islam dalam negara: Islam menjadi dasar negara modern dengan penerapan sistem politik dan hukum modern, seperti Mesir, Malaysia, Pakistan.
“Bahkan, akomodasi Islam dalam dasar negara yang kompatibel atau bersahabat dengan agama, khususnya Islam, contoh tipikal Indonesia dengan Pancasila,” katanya.
Webinar tersebut berjalan penuh dinamika, bahkan sejumlah nara sumber dihujani banyak pertanyaan sekaligus memberikan respon politik terkait eksistensi khilafah ada atau tidak.(rel/finta rahyuni)