MEDAN, kaldera.id – Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan pemerintah kab/kota diminta lebih aktif mengantisipasi ancaman sindrome burnout ketika anak mengikuti program belajar daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Burnout merupakan kondisi dimana anak mengalami stres dan kelelahan, baik fisik maupun emosional karena beban belajar yang berlebihan.

”Salah satu tanda anak mengalami burnout terlihat dari penurunan tampilan akademik bahkan gejala psikosomatis. Mereka tidak selalu ikut belajar dengan baik sekalipun memiliki akses,” jelas Psikolog Anak, Christina Hasibuan kepada wartawan di Medan, Sabtu (19/9/2020).

Christina mengatakan, tantangan pelaksanaan PJJ tidak sekadar soal sarana belajar online seperti, ketersediaan laptop, handphone android dan kuota internet, tetapi juga soal metode, materi, dan pendampingan belajar.

Hasil survei Yayasan Gugah Nurani Indonesia (GNI) menemukan, tidak semua anak yang memiliki android dan kuota internet, aktif belajar setiap hari. Dari 125 siswa yang memiliki handphone android dan kuota internet, hanya 29,60 persen yang setiap hari mengikuti pembelajaran.

Sedangkan sisanya 70,40 persen pernah absen beberapa kali. Survei GNI melibatkan 227 respoden yang berada di Medan dan Deli Serdang.

Responden ini merupakan siswa yang mendapatkan sponsor dari GNI dari tingkat SD, SMP dan SMA. Dia menambahkan, Pemko Medan misalnya perlu membangun sistem pendukung agar anak tidak absen dari PJJ.

“Dalam membangun sistem pendukung itu, pemko harus memperhatikan empat faktor penting yaitu kurikulum, peran orangtua, interaksi guru-siswa, dan konseling sebaya,” tambahnya.

Kurikulum merupakan titik kritikal. Sekalipun Kemdikbud sudah tegas menyatakan, bahwa pembelajaran selama pandemi tidak menuntaskan kurikulum. Akan tetapi masih banyak guru yang kesulitan menterjemahkan kebijakan ini.

Tidak semua guru mampu memilih kompetensi dasar esensial untuk diajarkan kepada siswanya sendiri. Ini yang membuat guru masih menggunakan buku teks kurikulum 2013 sebagai satu-satunya sumber belajar.

“Padahal selama PJJ, pembelajaran diharapkan bermakna, menyenangkan dan kontekstual agar siswa memiliki kecapakan hidup,” tukas master psikologi dari Universitas Padjajaran Bandung (UNPAD) ini.

Lebih lanjut Christina mengatakan, adanya kepastian kurikulum yang tidak membebani siswa, dapat mengurangi beban belajar. Saat ini Kemdikbud sudah meluncurkan kurikulum khusus yang fokus kepada kompetensi esensial, akan tetapi dalam pemanfaatannya tergantung kebijakan daerah.

“Sebaiknya penggunaan kurikulum diatur oleh Pemko Medan untuk mencegah kesenjangan mutu antar sekolah. Tidak semua sekolah punya sumberdaya yang mumpuni untuk menterjemahkan kurikulum ke dalam pembelajaran di masa pandemi,” terangnya.

Selain itu orangtua berperan signifikan saat berlangsungnya PJJ. Guru perlu membangun keaktifan komunikasi dengan orangtua. Transfer informasi dari guru kepada orangtua dapat menjadi jembatan penghubung yang sangat efektif, karena orangtua sangat mengenal karakteristik anaknya.

Kemudian, Christina menekankan bahwa interaksi guru dan siswa tidak sebatas pada pemberian materi dan tugas-tugas.

Dia pun menyarankan pemerintah daerah membuat program konseling teman sebaya (peer counseling). Konseling ini bisa membantu siswa menyalurkan kebutuhan emosinya. Ini dibutuhkan karena siswa cenderung “silang curhat” dengan teman sebayanya. “Pandemi ini merupakan situasi darurat, sehingga dibutuhkan pendekatan yang berbeda untuk menghadapinya,” tutupnya.(reza sahab)