Oleh: Jufri Naldo
Tidak lama lagi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan (UIN SU) akan memiliki museum Alquran dan peradaban Islam. Keinginan tersebut tentunya bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi Wahdah al ‘Ulum, sebuah metodologi keilmuan UIN SU yang digagas oleh Profesor Syahrin Harahap yang saat ini diamanhakan sebagai Rektor.
Alasan mendasar Profesor Syahrin untuk mendirikan museum itu karena keberadaannya pada sebuah lembaga pendidikan sangat dibutuhkan. Baik dari tingkat pendidikan yang paling rendah hingga pendidikan yang paling tinggi.
Dalam pendidikan dasar (SD) misalnya, anak didik akan sangat senang sekali bila bisa belajar di museum jika dibandingkan ketika mereka belajar di dalam kelas, terutama dalam mata pelajaran sejarah.
Karena di museum mereka bisa mengamati benda-benda peninggalan masa lampau secara langsung. Sementara dalam ranah pendidikan tinggi (Universitas), museum mewujud menjadi suatu lembaga atau pusat penelitian ilmiah, yang keberadaannya diharapkan dapat selalu mengomunikasikan hasil penelitian yang berbasis sejarah dan arkeologi. Oleh karenanya, keberadaan sebuah museum di sebuah lembaga pendidikan sudah menjadi keniscayaan.
Sejarah dan Fungsi Museum
Secara terminologi, museum berasal dari bahasa Latin, “Mouseion”, yang bermakna kuil. Semula, fungsi utamanya adalah tempat hiburan bagi para Dewa, akan tetapi fungsi tersebut terus mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi jaman.
Di jaman modern, museum berfungsi sebagai tempat pengkajian ilmiah dan kesenian. Dalam arti, keberadaan museum hari ini adalah sebagai tempat studi, pendidikan, dan kesenangan bagi masyarakat secara luas (Mclean. K, 1996).
Dengan terjadinya perubahan fungsi tersebut, maka pemerintah Indonesia secara konstitusional memberi payung hukum bagi museum sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 1995.
PP ini menegaskan bahwa museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda bukti materil hasil budaya manusia, alam dan lingkungan dengan tujuan bisa menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.
Dengan adanya peraturan ini maka museum memiliki tugas menyimpan, merawat, mengamankan, dan memanfaatkan koleksi museum.
Seperti yang telah disinggung semula bahwa museum tidak dapat dipisahkan dari koridor ilmu pengetahuan dan ciri ilmiah adalah predikat yang melekat padanya, di saat bersamaan para ahli per-museuman pun menyadari akan pentingnya melakukan kegiatan penelitian di museum untuk suksesnya fungsionalisasinya.
Hal ini dilandasi karena kerja-kerja penelitian di museum berbeda sekali dengan penelitian di lembaga akademis pada umumnya. Penelitian di museum adalah karya bersama antara staf dan pimpinan.
Objek penelitian juga bersumber pada masalah yang berkaitan dengan koleksi museum, kemudian hasil penelitian tersebut dikomunikasikan kepada masyarakat melalui penerbitan atau pameran. Objek selanjutnya adalah penelitian yang bersumber pada para pengunjung museum. Hasil model yang terakhir ini digunakan untuk dasar penyusunan kebijakan dalam pengelolaan museum.
Penelitian yang dilakukan di museum juga dituntut harus mendalam tentang seluk-beluk sebuah koleksi. Karena hasil penelitian harus dapat memberikan penjelasan secara lebih luas dalam konteks ilmu pengetahuan. Semisal pengetahuan sejarah, arkelologi, antropologi, sosiologi, dan politik.
Artinya, walaupun hanya bersifat penelitian terhadap koleksi suatu museum, namun hasilnya dapat disumbangkan bagi penambahan wacana kognitif (data dan asumsi) pada suatu bidang ilmu yang berkaitan dengan koleksi.
Selanjutnya, yang tak kalah menarik dari hasil penelitian di museum adalah penelitian tersebut bisa menghasilkan suatu dukungan terhadap suatu teori yang sudah umum. Misalnya tentang disfusi, akulturasi, dan lokal genius yang diharapkan memberikan manfaat dalam konteks kemasakinian atau masa yang akan datang (Mc Clean, 1996).
Perlunya Museum Peradaban Islam di UIN Sumut
Sejak ditetapkannya Kota Barus Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara sebagai titik nol Islam Nusantara oleh Presiden Joko Widodo pada 2017, secara tidak langsung UIN SU sebagai perguruan tinggi Islam terbesar di Sumatera Uara mendapat kehormatan menghadirkan bukti benda-benda bersejarah terkait awal mula Islam masuk ke Nusantara.
Bahkan dalam tataran ini, UIN SU diharapkan tidak terhenti dalam membicarakan sejarah agama Islam semata, akan tetapi juga mampu menjelaskan sejarah agama-agama lainnya.
Pandangan di atas sangat beralasan, karena Sumatera Utara dari sisi teologis merupakan Provinsi yang memiliki sejarah panjang tentang perkembangan agama-agama besar di Indonesia. Seperti agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konguchu, dan agama-agama lokal lainnya.
Dengan begitu, sebagai Universitas negeri yang berbasis Islam, UIN SU mendapat mandat dari masyarakat luas untuk bisa menjelaskan bagaimana perjalanan agama-agama tersebut beserta umatnya dari masa ke masa. Semenetara dari sisi sosiologis, Sumatera Utara memiliki ragam etnis, suku dan budaya.
Kehadiran museum peradaban Islam adalah bentuk keseriusan UIN SU dalam menjawab keinginan masyarakat.dan para akademisi untuk bisa melihat dan meneliti berbagai barang-barang dan temuan langka peninggalan sejarah, terutama artefak-artefak yang berbasis agama Islam maupun artefak peninggalan agama lainnya.
Oleh karena itu, UIN Sumut dengan ketersediaan tenaga sumber daya manusianya yang mumpuni di bidang sejarah, antropologi, dan arkeologi, bisa dijadikan ujung tombak dalam pendirian museum induk yang ditunggu oleh masyarakat.(*)
*Penulis Adalah Antropolog
Dan Sekretaris Panitia Pendirian Museum UIN SU