Ilustrasi Kekerasan di Sekolah
Ilustrasi Kekerasan di Sekolah

Oleh: Ahmad Muhajir

MEDAN, kaldera.id –  Pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia.Di mana pendidikan dapat mentransformasikan manusia, dari manusia lama yang belum tahu, belum terampil, belum baik menjadi manusia yang lebih tahu, lebih trampil, dan lebih baik sehingga dapat menjalani hidupnya sebagaimana selayaknya seorang manusia dewasa.

Pendidikan juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga sikap, adab dan moralitas untuk menjadi pribadi yang lebih berkualitas.
Namun, fakta menunjukkan bahwa kekerasan masih saja terjadi di dunia pendidikan, khususnya di sekolah.

Pada hal sekolah merupakan rumah kedua bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar dengan hati yang nyaman dan tenang.

Tanpa rasa nyaman dan tenang dapat dipastikan aktivitas dan hasil belajar siswa tidak dapat berjalan dan mencampai hasil yang maksimal. Namun bila kondisi sekolah terasa nyaman maka para siswa akan merasakan ketenangan dan kenyamanan dalam proses belajar.

Sampai saat ini kekerasan terhadap anak didik di sekolah masih tinggi, hal ini tampak dari presentasi komisi perlindungn anak Indonesia.

Pada kurun waktu januari sampai dengan 13 februari 2019 komisi perlindungan anak (KPAI) menerima laporan 24 kasis kekerasan di bidang pendidikan.

Komisioner KPAI bidang pendidikan, Retno Listyarti memaparkan bawa dari 24 kasus kekersan itu didominasi oleh kekerasan yang pelaku dan korbannya dari kelompok anak-anak.

Misalnya tercatat 17 kasus yang terkait kekerasan. Semua itu bersumber dari divisi pengaduan, baik pengaduan langsing maupun online.

Dan kasis yang disampaikan melalui media sosial KPAI serta pemberitaan media massa khusus kasis terkait bidang pendidikan.

Adapun kasus-kasus tersebut terbagi dalam dua kategori yakni anak sebagai korban dan anak sebagai pelaku.

Untuk anak sebagai korban, Retno mencatat kasus di dominasi perundungan. Rinciannya: 3 kasus kekerasan fisik, 8 kekerasan psikis, 3 kekerasan seksual, 1 tawuran pelajar, korban kebijakan 5 kasus dan 1 kasus eksploitasi.

Lebih lanjut Retno menjelaskan, anak korban kekerasan fisik dan anak korban bully permasalahannya meliputi anak dituduh mencuri, anak dibully oleh teman-temannya, anak dibully oleh pendidik, saling ejek di dunia maya dan dilanjutkan persekusi di dunia nyata, anak korban pemukulan, anak korban pengeroyokan, dan sejumlah siswa SD dilaporkan ke polisi oleh KepaIa Sekolahnya.(KPAI:2019)

Data diatas menunjukan bahwa sebenarnya dunia pendidikan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kekerasan demi kekerasan muncul dan terjadi berulang kali.

Pendidikan seolah kehilangan ruh nya sebagai instrumen dalam proses mencerdaskan anak bangsa. Bila hal ini tidak segera dicarikan solusinya, maka pendidikan di Indonesia akan mengalami kemunduran secara kulaitas.

Pendidikan Karakter Sebagai Tawaran Solusi Jalan Tengah

Pada hakekatnya, Pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak bersandarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya.

Pendidikan Karakter harus selalu diajarkan, dijadikan kebiasaan, dilatih secara konsisten dan kemudian barulah menjadi karakter bagi peserta didik.

Menurut John W. Santrock, character education adalah pendidikan yang dilakukan dengan pendekatan langsung kepada peserta didik untuk menanamkan nilai moral dan memberikan pelajaran kepada murid mengenai pengetahuan moral dalam upaya mencegah perilaku yang dilarang.

Guru sangat berperan dalam penguatan pendidikan karakter bagi anak didiknya, dimana guru harus mencontohkan apa yang disampaikan dan akan ditiru oleh anak didiknya.

Keteladanan yang dicontohkan oleh guru akan memudahkan penerapan nilai-nilai karakter bagi peserta didik. Guru adalah seorang yang digugu dan ditiru.

Di gugu diartikan adalah apa saja yang disampaikan oleh guru, baik lisan maupun tulisan dapat dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh semua peserta didik. Sedangkan ditiru artinya sebagai seorang guru harus menjadi suri tauladan dalam setiap perbuatannya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa guru dijadikan panutan dan teladan bagi semua anak didiknya.

Disisi lain, banyak pihak berpendapat bahwa hasil pendidikan terutama yang  menyangkut Moral dan akhlak sangat memprihatinkan.

Seolah-olah  dunia pendidikan tidak memberi resonansi kepada kepribadian peserta didik dan hanya bertumpu pada peningkatan akademik peserta didik saja.

Padahal, setiap satuan pendidikan berkewajiban untuk melaksanakan pembentukan karakter peserta didik di sekolah masing-masing.

Penguatan pendidikan karakter seyogyanya adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui olah hati, oleh rasa, olah pikir dan olah raga dengan keterlibatan serta kerjasama antar satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang digagas oleh Presiden Joko Widodo yang sekaligus dasar lahirnya Perpres Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.

Pada hakikatnya, pendidikan karakter  diharapkan dapat membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter selain untuk membentuk pembelajar sepanjang hayat, yang sejatinya akan mampu mengembangkan  semua potensi  peserta didik secara  seimbang (spiritual, emosional, intelektual, sosial, dan jasmani) dan juga secara optimal.

Hal ini menjawab pendapat yang selama ini mengemuka bahwa pendidikan  hanya memberi penekanan dan berorientasi  pada aspek akademik saja dan tidak mengembangkan aspek sosial, emosi, kreativitas, dan bahkan motorik. Peserta didik hanya dipersiapkan untuk dapat nilai bagus, namun mereka tidak dilatih untuk bisa hidup.

Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga dan Masyarakat

Dalam implementasinya, selain berbasis kelas, penguatan pendidikan karakter bisa dilaksanakan dengan berbasis sekolah, berbasis keluarga (rumah tangga) dan berbasis masyarakat.

Pada penguatan pendidikan berbasis sekolah, sekolah tidak hanya diartikan sebagai tempat belajar, namun sekaligus  dijadikan juga tempat memperoleh peningkatan karakter bagi peserta didik yang merupakan bagian terpenting dari pendidikan karakter itu sendiri, dengan kata lain sekolah bukanlah sekedar tempat transfer knowledges namun juga lembaga yang berperan dalam proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai yang baik (value-oriented enterprise).

Di samping itu sekolah bertanggung jawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam karakter dan kepribadian.

Sementara untuk penguatan pendidikan karakter yang berbasis keluarga, dapat dilaksanakan dengan menjadikan keluarga dan rumah tangga sebagai lingkungan pembentukan watak dan karakter pertama dan utama bagi peserta didik sehingga keluarga atau rumah tangga dijadikan sebagai school of love tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang serta tempat pertama penyemaian nilai-nilai kebaikan serta  prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan sehingga diharapkan peserta didik telah memiliki potensi dan bekal yang memadai untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah.

Penguatan pendidikan karakter berbasis masyarakat dapat dilaksanakan karena masyarakat luas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter peserta didik dimana masyarakat telah memiliki sistem nilai yang selama ini dianutnya.

Hal ini akan mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan termasuk peserta didik sehingga masyarakat mempunyai tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk.

Pada dasarnya, penguatan Pendidikan karakter bermuara kepada terbentuknya peserta didik yang memiliki keselarasan dan keseimbangan antara pengetahuan akademik, sikap atau prilaku yang baik dan ketrampilan menuju era revolusi industri 4.0 maupun era Society 5.0.

Semoga dengan selalu melakukan penguatan Pendidikan karakter akan menghasilkan peserta didik yang tidak hanya mempunyai pengetahuan akademik yang baik tetapi juga memiliki  karakter yang berkualitas.

Penulis adalah Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas