Maslathif Dwi Purnomo, Ph.D
Maslathif Dwi Purnomo, Ph.D

Oleh: Maslathif Dwi Purnomo

“Jika orang baik tidak mau masuk ke gelanggang politik, maka penjahatlah yang akan mengisinya” Sekilas kalimat ini begitu menarik perhatian. Lalu perhatian kita mungkin tertuju pada dua terma yang menghiasi kalimat tersebut, yaitu “Orang Baik” dan “Penjahat”.

Dua kata ini jelas berlawanan makna, yang satu menggambarkan kemuliaan, kabaikan, ketaatan, kebersihan, kedisiplinan dan seabreg citra mulya yang dilekatkan pada kata ‘Baik” tersebut. Sementara yang satunya lagi menggambarkan kejelekan, kecurangan, kebusukan, ketidaksetiaan, kebohongan, dan masih banyak lagi atribut yang melekat dari kata ‘Penjahat’ itu.

Sehingga, bisa dipastikan jika disandingkan dua kata ini dalam satu kalimat, maka akan muncul makna superior (Dominasi) dan Inferior (Objek kesalahan), dan tentunya yang memiliki makna superior adalah kata ‘Baik’ sementara kata ‘Penjahat’ bermakna inferior.

Dalam dunia politik, bahasa selalu menjadi ujung tombak bagi pembangunan citra pelaku politiknya. Disaat pemilu, bisa dipastikan bahwa wajah-wajah politisi, yang punya niat untuk berkontestasi dalam pesta demokrasi, akan berubah menjadi baik, baik dalam hal ini bukan saja dalam penampilan, namun juga dalam berucap, menyapa, berpidato, berfoto, sampai dengan berpakaian yang serba baik.

Begitu juga dalam tataran humanistik, mereka menjadi orang yang mudah berbagi (bershodaqoh) kepada siapapun, khususnya yang terkait dengan relevansi Agama, tentunya saat itu mereka telah menjadi orang baik. Dengan kata lain, sangat sulit bagi kita menemukan atribut-atribut kebahasaan yang mengkodekan mereka adalah orang jahat atau penjahat, sekalipun mungkin secara track record masih perlu dibuktikan.

Pemilu Selesai, Berubah Perangai

Setelah pemilu selesai, dan para politisi itu sudah duduk dikursi yang mereka inginkan, perangai pun berubah. Bahasa mereka tidak lagi merakyat, sekalipun yang mereka bicarakan selalu atas nama rakyat, namun substansinya masih jauh dari kepentingan rakyat.

Mereka lebih senang bertikai dalam rapat, mendahulukan kepentingan partai politik dan golongannya, merancang program-program yang menguntungkan kelompoknya sendiri, berkolaborasi dengan para cukong dan mafia untuk menge-goal-kan proyek tertentu demi mendapatkan persen yang cukup lumayan.

Saat itulah, perangai mereka yang semula baik, telah menjadi jahat dan patut disebut ‘Penjahat Politik’. Ya mungkin tidak semuanya begitu, ada juga yang tetap baik, namun susah kita mencarinya.

Oleh karena itu, kalimat “Jika orang baik tidak mau masuk ke gelanggang politik, maka penjahatlah yang akan mengisinya” ini masih membingungkan saya, sebenarnya siapa yang dimaksud orang baik itu? Bukankah realitas membuktikan bahwa orang yang dulunya baik sebelum masuk dunia politik, ketika masuk gelanggang politik dan punya kursi atau jabatan tertentu di Pemerintahan, dapat segera dengan mudah menjadi jahat.

Sejarah Politik, Fakta Masa Lalu

Kita tentu masih ingat, Ketika Soeharto berkuasa, hampir semua aktivis dulu mengatakan Soeharto bukanlah orang baik, sehingga harus direformasi. Dan setelah reformasi berhasil di gelindingkan, selanjutnya yang mengisi pemerintahan ini adalah para eks-aktifis tersebut, toh ternyata mereka menjadi tidak baik juga.

Bukankah ini sudah menjadi fakta yang tidak bisa dipungkiri?, contoh-contoh terseretnya para politikus dalam jeratan korupsi dan kasus lainnya membuktikan bahwa dunia politik sesungguhnya sudah merubah perangai orang baik menjadi jahat, atau perangai orang yang memang sudah jahat kian menjadi lebih jahat dan mampu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Dengan demikian, dalam analisa wacana, agaknya slogan diatas sangat tidak menemukan kognisinya ditengah-tengah masyarakat. Bahkan jika bisa lebih ekstrim lagi, seharusnya slogan yang dimunculkan adalah “Jika orang baik ingin menjadi Penjahat secara instan. Maka terjunlah ke gelanggang politik”. Kalimat ini mungkin lebih pas melihat realitas yang terjadi dalam kancah perpolitikan ditanah air kita saat ini, kecuali jika ada fakta lain yang membantah fakta-fakta yang sudah banyak diketahui masyarakat secara luas.

*Penulis adalah Dosen Linguistik UIN Sumatera Utara Medan, saat ini sebagai Ka Prodi S2 Pendidikan Bahasa Inggris, Alumni Charles Sturt University, Australia